Senin, 13 Mei 2013

Rusuh Kisruh Media dan Saya

 
20:45 WILaptopSaya
Senin, 13 Mei 2013

Bismillah...
Kisruh di media sejak beberapa waktu lalu membuat saya akhirnya tergugah untuk menulis ini. Sebelumnya, saya sudah memang menarik diri dari berpikir-pikir yang seperti ini, sekedar berbincang ringan dengan para kawan dan sedikit bercanda tentu ada sesekali. Maklum latar belakang organisasi yang saya geluti sejak kuliah cukup melatih adrenalin saya untuk tertarik dengan hal-hal yang berbau kepemerintahan. Perpolitikan. Hukum dan kasus-kasusnya.

Namun saya tuliskan sekali lagi, dari organisasi yang membawa saya pelatihan hingga ke daerah industri nan padat di Pulau Jawa (yang telah membuat saya tahu banyak hal dan memutuskan banyak hal) sebenarnya sudah saya tepikan sedikit dari pemikiran saya. Meski lambaian tetap sulit untuk diabaikan.

Berkecimpung di dunia filantropi 1,5 tahun terakhir membuat saya memutuskan bahwa memfokusi dunia filantropi adalah satu di antara dua pilihan saya (profesi). Biarlah yang lain berjuang di ranah lainnya. Mereka yang jadi wartawan dengan tugas kontrolnya, mereka yang mulai masuk ke ranah politik dengan metode perjuangannya, mereka yang di dunia pendidikan dengan caranya, yang jelas... jadi apapun, keidealisan tentang kebenaran itu yang harus senantiasa kita pertahankan. Menjadi apapun. Karena sejatinya, bergabung di dunia kerja, di dunia masyarakat yang sesungguhnya merupakan tantangan luar biasa dibanding ketika kita masih berada dalam dunia kampus.

Kembali lagi ke kekisruhan yang akhirnya membuat saya menulis di tengah letih usai perjalanan dua jam penuh dengan kendaraan motor, menggendong si jagoan yang baru lepas lima bulan. Beratnya? ampuuunnnn :D

Mencermati dan mengikuti yang sedang hangat itu jelas bahwa dukungan publik terhadap institusi pemberantas korupsi sedemikian besarnya. Termasuk saya tentu saja. (namun apakah dukungan tersebut akan menjadikan institusi tersebut sebagai berhala baru yang semua dia itu benar dan selain dia salah?) saya pikir tidak.

Sejak awal munculnya kasus impor daging sapi, selagi 'kawan-kawan' sibuk dengan opini di sosial media saya diam dan sebenarnya cukup mengerutkan kening. Kalau sebelum ini yang dihantam itu partai lawan, cepat kali judge-nya. Eh sekarang... cepat pula judge-nya soal difitnah dan macam-macam lainnya.

Santai kawan, sebagai orang yang tidak berada langsung dalam pusaran tragedi yang kini terjadi, tentu tidaklah bijak jika kita  sok-sok'an. Menjadi pengkritik? apakah sudah berkapasitas dan berlatar belakang ilmu? jangan-jangan, komentar kita justru menjadi suasana semakin ricuh. Tunggulah sampai semua jelas, sabar. Tonton saja dulu sembari berdoa, "Ya Rabb... rakyat ini sungguhlah letih dengan segala permainan dan kebohongan, jawablah doa ini ya Rabb"

Kira-kira begitulah redaksinya. Atau kalau mau versi yang lebih panjang, silahkan. haha.. sudah kemana-mana tulisan saya.

Pada tulisan kali ini, saya tidak hendak membahas tentang itu tapi ingin mengulang sedikit dari buku yang pernah sangat saya gilai di masa lalu.

Dalam buku bill Kovach & Tom Konsenstiel, seperti yang dulu sedikit saya pelajari, dalam meneliti/menginvestigasi sebuah kasus maka kita harus membersihkan diri sari segala kepentingan. Kebenaran menjadi elemen pertama dalam jurnalisme.

Sedangkan, berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: Jangan menambah atau mengarang apa pun, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam melakukan reportase, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri, dan... bersikaplah rendah hati.

Konsep inilah yang sepertinya saya samar temukan dalam 'kisruh' beberapa waktu ini. Dimana awak media lebih sering menggiring dengan keras opini publik untuk bergabung dalam opininya.

Padahal, wartawan dilarang berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata. SAKSI MATA.

Elemen yang juga dimuat dalam buku Kovach dan Rosenstiel adalah INDEPENDENSI. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap INDEPENDEN terhadap orang-orang yang mereka liput.

Nah, keindependenan ini yang feel saya mengatakan tidak (terlalu kasar kalau saya katakan 'tidak' sebenarnya cuma yah.. mendekati itulah) dimiliki 'media besar' kita saat ini.

Semangat dan pikiran untuk independen lebih penting ketimbang netralitas.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Wartawan itu punya tanggung jawab pada nurani, mereka harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Layaknya, semua wartawan memiliki pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial.

Kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network, setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.

Dan saya, sungguh gamang dengan pers kita. Mereka yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk opini publik. Pada akhirnya, nampak secara kasat bahwa ternyata pers kita telah lebih condong pada pers berbasis kapital. Idealisme yang dianut adalah idealisme pasar, idealisme 'pemilik'.

Moralitas  dari seorang jurnalis, kemudian terpaksa diabaikan.

Padahal, semua wartawan saya yakin tahu, penekanan paling penting pada profesinya adalah jelas: memilih kebenaran!

Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.” Lantas bagaimana dengan Indonesia

Belum lama ini saya juga menemukan seorang wartawan (senior saya yang sudah lama berkecimpung di koran no satu di negeri ini), dia dikeluarkan dari Media yang bersangkutan karena investigasinya terkait perusahaan penyokong dana terbesar dari media yang bersangkutan.

(Blog ini ternyata tetap akan dimuati dengan tulisan macam-macam, padahal sebelumnya saya sudah merencanakan bahwa di rumah ini akan kuceritakan suatu yang ringan saja tentang saya, Fathul, dan Sang Imam)

Menjelang lelap saya bertanya, "Bang, abang mau jadi wartawan hebat?"
"Ya," tegasnya mantap dalam gelap.
"Wartawan hebat itu yang bagaimana?" ujarku polos.
"Yang idealis,"

Kami menutup mata dengan kecamuk pikiran masing-masing. Kata Idealis yang dalam.
Seperti kata yang kusimpan untuk si jagoan, "Jadi apapun kamu, profesi apapun itu, tetap harus dai"

3 komentar:

  1. ingat ya dik fathul ibu mu pernah menuliskan ini..."Jadi apapun kamu, profesi apapun itu, tetap harus dai" :)

    BalasHapus
  2. adik2... ponakan itu statusnya Mug :D jadi Det akan panggil PON dan Fathul akan panggil OM (haha.....)

    BalasHapus
  3. :D oa lupa, berasa masih uda soalnya,
    baik lah PON...

    BalasHapus