Jumat, 17 Mei 2013

Dan Menjadilah Orang-Orang yang Dirindu


Jumat, 17 Mei 2013
21:25 WIB
Dialog TV One ditingkahi OVJ masih berlangsung

Bismillah,
Ada orang-orang yang bertemu dengannya saja mampu membuat hati bergetar, menambah keingatan kita kepada indahnya keimanan. Ada orang-orang yang ketika melihatnya tak terasa air mata jatuh, rasa cinta pun menjalar. Haru yang tercipta dari pesona sosoknya yang memancarkan kebaikan luar biasa.

Mungkin kita tak kenal, baru sekali bertemu. Atau bahkan hanya melihatnya dari jauh. Lantas apa yang membuatnya syahdu sedemikian rupa? Itulah misteri dari yang namanya ukhuwah. Ukhuwah Islam. Yang dalam jabat tangannya Allah menggugurkan dosa-dosa. Yang dalam pandang dan senyum yang bertukar ada sesuatu mendalam tersampaikan. "Kata cinta, cinta karena Allah, karena pancaran kebaikan yang ada, karena kesamaan pula akan kecintaan pada-NYA."

Alhamdulillah, puji syukur ya Rabb... karena Engkau telah sudi mempertemukan saya dengan sosok-sosok itu. Sosok-sosok inspiratif. Yang dalam diamnya pun saya menemukan kebaikan.

Pulang dari lingkaran sore tadi, hati saya bergejolak. Di dalam helm hitam berkaca hitam itu saya menangis sejadi-jadinya. Sungguh, saya semakin cinta dengan jalan ini.
Jalan yang membuat saya mengenal lebih banyak tentang perjuangan Rasulullah. Dan kemudian jejak mengapa kemudian saya harus bergabung dalam jamaah dakwah.

Karena di dalamnya ternyata saya selalu dituntun untuk tak hanya menjadi orang yang hanya cukup dengan mengurus diri sendiri/keluarga. Meski tentu saja sebagai manusia tetap tak ada yang sempurna.

Namun, ada beberapa tanggung jawab besar yang menjadikan saya paham, bahwa saya yakin, sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Seperti dalam tuturmu ya Rasulullah.

Ah, sedang apalah orang-orang yang saya rindu itu saat ini? Dalam rabithah, tersebutlah nama mereka satu per satu.

Kuingat bahwa beberapa di antaranya pernah, sembari merapatkan jarak, saling memegang dengan erat. Dan terlantunlah...

Sesungguhnya Engkau tahu bahwa hati ini tlah berpadu berhimpun dalam naungan cinta-MU, bertemu dalam ketaatan bersatu dalam perjuangan menegakkan syariat dalam kehidupan.

Kuatkanlah ikatannya, kokohkanlah cintanya, tunjukilah jalan-jalannya. Penuhi dengan cahaya-MU yang tiada pernah padam. Ya Rabbi bimbinglah kami...

Lapangkanlah dada kami dengan karunia iman dan indahnya tawakal pada-MU. Hidupkan dengan ma'rifah-MU matikan dalam syahid di jalan-MU. Engkaulah pembimbing dan pembela.

Ya Rabbi bimbinglah kami...

Untuk beberapa akwat KAMMI di Sumbar, beberapa personil KaZiX KAMMI UNP 2006, Adik2 MK 2008 & 2009, penghuni kamar eksekusi Wisma Alamanda 3, Teman-teman lingkaran di FBS UNP, teman-teman lingkaran terkini, dan... adik2 lingkaran -rindukaliandengansangat.

"Semoga bertemu dalam keadaan keimanan yang lebih baik, atau dalam tempat tertinggi, cita-cita kita. Amiin ya Rabb.."

Rabu, 15 Mei 2013

Deadline, Blog dan Majalah :D

Bismillah..
Jam menunjukkan pukul 09:31 Waktu Kantor Saya

Entahlah... meski semakin dekat dengan deadline layout halaman yang saya tanggungjawabi tiap minggu. Saya masih enggan bergiat mengejarnya. Satupun belum saya susun. Haghag. Argh...

Ada majalah berjudul "Anak-anak Juara yang Menyejukkan Jiwa" di sebelah laptop saya. Menarik. Tapi menulis di blog lebih membuat saya merasa lebih baik saat ini.

Biasa... hari Kamis selalu menjadi rasa tersendiri. Saat setumpuk pekerjaan yang mesti diselesaikan harus ditingkahi dengan keharusan menulis muatan sehalaman di sebuah koran.

Makanya, menulis di blog merupakan refresh dan keringanan bagi saya. Menulis di blog adalah kebutuhan lain, di samping menulis diary. Diary yang saya sadari sudah tidak hanya memuat nama saya sendiri. Ada dua orang khusus yang kini lebih banyak menyita perhatian saya. Dan di blog ini pun juga begitu.

Tiba-tiba saja rindu Fathul. 
Memangdangi lagi majalah 4 tahun lalu itu. "Anak-anak Juara yang Menyejukkan Jiwa".

Alangkah indahnya Islam, yang menjadikan istri (atau suami) dan anak-anak sebagai penyejuk pandangan, penghalus budi, dan penyemangat pencarian. Doa memohon kepada Allah, agar pasangan-pasangan kita, dan anak-anak keturunan kita, dijadikan penyejuk pandangan (qurrata a'yun), adalah doa yang bahkan kita dengar, atau kita hafal, atau kita resapi, jauh sebelum kita menyelami kehidupan keluarga dan menanggung resiko beranak-pinak :D

Semangatnya sangat jelas, Agar kita mengerti betapa besar kebutuhan kita akan penyejuk jiwa: istri, suami, dan anak-anak.

Maka, di tengah banyaknya anak-anak yang beranjak tumbuh dan gagal menemukan jati diri mereka secara lurus, kita akan sangat berbahagia menyaksikan ada dari mereka yang sukses menjadi juara. Di dunia juga akhirat.

Amiinn... Semoga... Ya Rabb.. Kabulkanlah...
*Pentingnya pendidikan anak
Fathul... Insyaallah... Bunda.....

Senin, 13 Mei 2013

Rusuh Kisruh Media dan Saya

 
20:45 WILaptopSaya
Senin, 13 Mei 2013

Bismillah...
Kisruh di media sejak beberapa waktu lalu membuat saya akhirnya tergugah untuk menulis ini. Sebelumnya, saya sudah memang menarik diri dari berpikir-pikir yang seperti ini, sekedar berbincang ringan dengan para kawan dan sedikit bercanda tentu ada sesekali. Maklum latar belakang organisasi yang saya geluti sejak kuliah cukup melatih adrenalin saya untuk tertarik dengan hal-hal yang berbau kepemerintahan. Perpolitikan. Hukum dan kasus-kasusnya.

Namun saya tuliskan sekali lagi, dari organisasi yang membawa saya pelatihan hingga ke daerah industri nan padat di Pulau Jawa (yang telah membuat saya tahu banyak hal dan memutuskan banyak hal) sebenarnya sudah saya tepikan sedikit dari pemikiran saya. Meski lambaian tetap sulit untuk diabaikan.

Berkecimpung di dunia filantropi 1,5 tahun terakhir membuat saya memutuskan bahwa memfokusi dunia filantropi adalah satu di antara dua pilihan saya (profesi). Biarlah yang lain berjuang di ranah lainnya. Mereka yang jadi wartawan dengan tugas kontrolnya, mereka yang mulai masuk ke ranah politik dengan metode perjuangannya, mereka yang di dunia pendidikan dengan caranya, yang jelas... jadi apapun, keidealisan tentang kebenaran itu yang harus senantiasa kita pertahankan. Menjadi apapun. Karena sejatinya, bergabung di dunia kerja, di dunia masyarakat yang sesungguhnya merupakan tantangan luar biasa dibanding ketika kita masih berada dalam dunia kampus.

Kembali lagi ke kekisruhan yang akhirnya membuat saya menulis di tengah letih usai perjalanan dua jam penuh dengan kendaraan motor, menggendong si jagoan yang baru lepas lima bulan. Beratnya? ampuuunnnn :D

Mencermati dan mengikuti yang sedang hangat itu jelas bahwa dukungan publik terhadap institusi pemberantas korupsi sedemikian besarnya. Termasuk saya tentu saja. (namun apakah dukungan tersebut akan menjadikan institusi tersebut sebagai berhala baru yang semua dia itu benar dan selain dia salah?) saya pikir tidak.

Sejak awal munculnya kasus impor daging sapi, selagi 'kawan-kawan' sibuk dengan opini di sosial media saya diam dan sebenarnya cukup mengerutkan kening. Kalau sebelum ini yang dihantam itu partai lawan, cepat kali judge-nya. Eh sekarang... cepat pula judge-nya soal difitnah dan macam-macam lainnya.

Santai kawan, sebagai orang yang tidak berada langsung dalam pusaran tragedi yang kini terjadi, tentu tidaklah bijak jika kita  sok-sok'an. Menjadi pengkritik? apakah sudah berkapasitas dan berlatar belakang ilmu? jangan-jangan, komentar kita justru menjadi suasana semakin ricuh. Tunggulah sampai semua jelas, sabar. Tonton saja dulu sembari berdoa, "Ya Rabb... rakyat ini sungguhlah letih dengan segala permainan dan kebohongan, jawablah doa ini ya Rabb"

Kira-kira begitulah redaksinya. Atau kalau mau versi yang lebih panjang, silahkan. haha.. sudah kemana-mana tulisan saya.

Pada tulisan kali ini, saya tidak hendak membahas tentang itu tapi ingin mengulang sedikit dari buku yang pernah sangat saya gilai di masa lalu.

Dalam buku bill Kovach & Tom Konsenstiel, seperti yang dulu sedikit saya pelajari, dalam meneliti/menginvestigasi sebuah kasus maka kita harus membersihkan diri sari segala kepentingan. Kebenaran menjadi elemen pertama dalam jurnalisme.

Sedangkan, berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: Jangan menambah atau mengarang apa pun, jangan menipu atau menyesatkan pembaca, bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi dalam melakukan reportase, bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri, dan... bersikaplah rendah hati.

Konsep inilah yang sepertinya saya samar temukan dalam 'kisruh' beberapa waktu ini. Dimana awak media lebih sering menggiring dengan keras opini publik untuk bergabung dalam opininya.

Padahal, wartawan dilarang berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata. SAKSI MATA.

Elemen yang juga dimuat dalam buku Kovach dan Rosenstiel adalah INDEPENDENSI. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini. Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap INDEPENDEN terhadap orang-orang yang mereka liput.

Nah, keindependenan ini yang feel saya mengatakan tidak (terlalu kasar kalau saya katakan 'tidak' sebenarnya cuma yah.. mendekati itulah) dimiliki 'media besar' kita saat ini.

Semangat dan pikiran untuk independen lebih penting ketimbang netralitas.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Wartawan itu punya tanggung jawab pada nurani, mereka harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Layaknya, semua wartawan memiliki pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial.

Kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network, setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.

Dan saya, sungguh gamang dengan pers kita. Mereka yang memiliki pengaruh kuat dalam membentuk opini publik. Pada akhirnya, nampak secara kasat bahwa ternyata pers kita telah lebih condong pada pers berbasis kapital. Idealisme yang dianut adalah idealisme pasar, idealisme 'pemilik'.

Moralitas  dari seorang jurnalis, kemudian terpaksa diabaikan.

Padahal, semua wartawan saya yakin tahu, penekanan paling penting pada profesinya adalah jelas: memilih kebenaran!

Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.” Lantas bagaimana dengan Indonesia

Belum lama ini saya juga menemukan seorang wartawan (senior saya yang sudah lama berkecimpung di koran no satu di negeri ini), dia dikeluarkan dari Media yang bersangkutan karena investigasinya terkait perusahaan penyokong dana terbesar dari media yang bersangkutan.

(Blog ini ternyata tetap akan dimuati dengan tulisan macam-macam, padahal sebelumnya saya sudah merencanakan bahwa di rumah ini akan kuceritakan suatu yang ringan saja tentang saya, Fathul, dan Sang Imam)

Menjelang lelap saya bertanya, "Bang, abang mau jadi wartawan hebat?"
"Ya," tegasnya mantap dalam gelap.
"Wartawan hebat itu yang bagaimana?" ujarku polos.
"Yang idealis,"

Kami menutup mata dengan kecamuk pikiran masing-masing. Kata Idealis yang dalam.
Seperti kata yang kusimpan untuk si jagoan, "Jadi apapun kamu, profesi apapun itu, tetap harus dai"

Senin, 06 Mei 2013

5 Bulan Jagoan

diambil saat berangkat baralek Ammah Ria (26/4)
 
6 April 2013
Bismillah..

Dua hari ke depan, umurmu genap 5 bulan. Nak… kau semakin pesat bertumbuh, beringsut.. perut mungil itu mulai kau tarik-tarik. Dan kami mulai repot dengaan gerak-gerikmu.

“Fathul….”

“ Ya Allah Nak…”

“Astagfirullah hal adzimmm”

“Kan bunda bilang tunggu sebentar…”

Melihat kepanikan kami, kau malah melempar senyum, dengan mulut terbuka. Malah tak jarang pula tergelak. Memperlihatkan gusi yang tanpa gigi itu :) Fathul.. Fathul… : )

:) Kadang sampai di karpet karena sudah meluncur dari kasur santai. Atau dalam keadaan kaki dan punggung di atas kasur sementara kepala sudah menjuntai-juntai ke bawah. Sudah menjilat-jilat laptop, sudah meremuk-remuk lembaran buku-buku yang bunda atau ayah baca.

Sudah pula belajar mandi air dingin. Kemaren dibagi video bayi belajar berenang sejak umur tiga bulan oleh Bunda Ilen. Beberapa waktu lagi.. insyaallah kita belajar ya. “ Ajarkanlah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda” (HR. Ahmad)

Bismillah.. Selalu dengan menyebut nama-Mu ya Rabb… Jadikan kami orang tua yang pantas untuknya. Yang mampu menuntunnya menjadi kebanggaan dunia akhirat karena ketakwaannya kepadaMU, karena akhlaknya yang mulia, karena kecerdasan, kekokohan dan ketangguhannya dalam menjalani bahtera dan berbagai tantangan dunia.

Ya Rabb.. Puji Syukurku selalu padaMU.. selalu.. selalu… :’)

Di atas karpet biru bergambar logo satu klub bola. Ditemani jagoan kecil yang sibuk memperhatikan jari-jarinya sambil berceloteh. Entah apa. Kukecup pipinya dengan lembut. “Luv U Nak… karena Allah” :’)