Kamis, 26 Agustus 2010

Bismillah

11:22

Menunggu detik-detik berharga dalam hidupmu.

Baca dengan bahasa sastra (bukan bermaksud ‘kurang­­---’ dengan menyebut kata ‘kau’ untukmu ^^)

Kamar yang didominasi warna biru putih. Semarak sekali. Ada lumayan banyak bunga yang tadinya sempat membuatku berkerenyit. “Ramai kali ya, Dek?” tanyamu.

“Iya, sih..” jawabku.

“Ah, nanya kamu mah gak valid, bisa disuruh buang semua ni bunga,” candamu.

Aku tertawa kecil. Dalam keadaan biasa, mungkin tawaku akan sedikit lebih lagi. Aku mendapati sebuah gantungan lemari merah muda, benda sama kita, namun punyaku sudah entah kemana…

Hmm… aku tak tahu bagaimana perasaanku kini, tak begitu jelas. Entahlah… Rasanya akan ada yang hilang tapi di sisi lain justru ada yang bertambah.

Kau akan melangkah ke perjuangan yang lebih ekstra lagi. Ingatkah ketika sambil berkaca kita mengatakan, “Kebahagiaan begitu besar ketika orang yang kita cintai semakin dekat kepada Allah, semakin ekstra perjuangannya di jalan Allah.. pergilah…”

Masih segar teringat, aku yang pertama kau ‘seret-seret’ melangkah di jalan ini.. Ketika dengan kesal kumenukar jilbabku yang katamu transparan. “Cerewet,” gumamku tanpa suara ketika itu.

Dan..

pertama aku mengenakan jilbab sorong cokelat sangat muda, punyamu. Kau terkejut. Hari itu banjir air mata, banjir puisi, juga.. Hari pertama aku memutuskan untuk menggunakan jilbab lebar.

Ah, Ayuk… (sebenarnya aku ingin menangis tapi.. )

Ingin rasanya kutarik-tarik yang dulu-dulu itu. Lomba cipta puisi di banyak sore, di tepi pantai Gajah… ketika puisi kita berdua dibedah di forum dan puisiku yang dibilang bagus (hehe... peace ^^) kau ‘mangambok’. Namun sejak itu justru kau menyetujuiku yang mengatakan kalau kau lebih bakat di cerpen.

“Tapi aku tak suka saja dibanding-bandingkan dengan puisimu,” ujarmu ketus tapi lucu. Aku nyengir.

Dan kau mengajariku banyak tentang pilihan ketika sudah mengenakan jilbab lebar, izzah seorang muslimah.

***

Lomba lari itu, yang kau selalu ungkit walau kau cuma menang sekali :P juga keberhasilanmu membantingku setelah mengecoh mengatakan, “Sini Dek, ayuk coba,”

Bantingan yang lumayan keras setelah aku menginjak kota ini. Aku meringis. Kau tertawa begitu gembira. Meski sakit, entah terasa begitu menyenangkan. Sebagai pamungkas kukatakan, ”Hmm… Murid yang lumayan cepat tanggap,” dengan pose seorang guru yang begitu bijak ^^

Waaaaaaa………………………….. pagi yang masih gelap itu ribut dengan tawa-tawa kecil.

***

Hmm… Kau orang pertama yang menyium keningku. Aku hanya terbengong ketika itu. Ciuman sayang seorang kakak yang dari orang tua pun aku sama sekali tak pernah mendapatkannya. Ah, kau sedikit berhasil mengajariku tentang kelembutan. Mengajariku tak lagi memukul-mukul bantal kalau kesal. Mengajariku tak berteriak-teriak kalau berbicara ^^ “Kan harus tegas,” ujarku.

“Ya kan ndak mesti kayak orang orasi terus gitu,” kau protes.

Sampai al Quran warna perak yang kemudian kau berikan, “Untuk obat,” katamu. Yang kemudian kupahami memang ampuh sebagai obat apapun…

Dan pesanmu di suatu ketika, “Jaga diri baik-baik ya dek, minta punggung yang kuat jangan minta ringankan beban.”

Ah, terlalu banyak jika kukisahkan semua..

***

Hmm… Ternyata kesyahduan ukhuwah bercerita ketika visi itu mulai sama. Tak hanya sebuah kedekatan lahiriah, tawa atau canda. Ketika hati telah berhimpun dalam naungan cintaNYA. Menyeriusi hidup.

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S Al Hadiid: 16).

Aku sangat ingin memandangimu, dari tempat yang tak kau tahu. Ingin kukucurkan buliran bening yang biasanya begitu sulit keluar. Aku ingin menangis. Tangis dengan aroma wangi ukhuwah.. kebahagian yang lagi-lagi tak tahu aku bagaimana definisinya, bagaimana mengukirkannya.. dan mulai bingung untuk menguntainya lewat kata.

***

Rasanya ingin sekali duduk di sebelah Apa, memberikan semacam hawa ketenangan dan menyedot semua energi yang membuatnya gugup sedemikian rupa. Pengalaman kali pertamanya memang. Sudah berapa kali pengulangan.

Aku bertatapan dengan Khairia yang juga bertugas sebagai fotografer. Kemudian reflek sama-sama meletakkan tangan kanan di dada, menghembuskan nafas berat dan.. “Pfuh… kok jadi kita yang gugup ya?!” Padahal ini bukan perdana menyaksikan akad nikah.

Sementara kau, aku tahu kau lebih berdebar lagi. Kuamati kau beberapa waktu. Matamu melihat ke kiri pada Ama, bibirmu mengatup membentuknya kemudian menjadi segaris tipis. Sementara Apa terlihat berjuang keras. Ah.. mungkin Apa lebih bisa memberikan batasan tentang perasaannya, sementara calon kakakku itu berkali juga memegang kain yang menggantung di lehernya. Dibenahi posisi duduknya setiap saat jeda.

15:10

Subhanallahi wabihamdihi khalqihi wa ridha nafsih wa dzinata ‘arsy wa midada kalimatih…

Adikku, entah apa nama perasaan ayuk detik ini. Perpindahan wali di bumi sudah terjadi 30 menit lalu. Ada haru, cemas, bahagia, sedih, lega, bercampur aduk di hati ini. Ketika para saksi mengucapkan ‘sah’ Subhanallah. Status baru dalam hidup. Istri. Amanah baru dalam kerja-kerja dunia yang Allah pikulkan. Harapan ayuk hanya satu. JannahNYA. Sebab Allah telah janjikan Syurga bagi istri-istri yang berbakti pada suami. Mohon doanya agar ayuk terhitung ke dalam orang-orang yang berbakti.

Setiap kita memiliki orang-orang istimewa dalam perjalanan kita ‘mengenal’ hidup. Ada banyak tarbiyah yang kita kecap dari setiap langkah, yang juga melibatkan orang-orang tertentu di dekat kita. Waktu yang terus berjalan membantu mengungkapkan satu per satu rahasiaNYA pada kita. Beruntunglah karena telah mengukir kenangan indah pada hati orang lain yang mungkin kau tak sadar telah melakukannya. Melakukan hal luar biasa bagi orang lain… teruslah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain, dimanapun, kapanpun, dalam keadaan bagaimanapun…

Dan untukku, “Tidak ada nikmat kebaikan yang Allah berikan setelah Islam selain saudara yang shalih. Maka jika salah seorang kalian merasakan kecintaan dari saudaranya, peliharalah dan peganglah kuat-kuat persaudaraan dengannya… “(Umar bin Khattab)

Doa selalu untukmu. Tazkiyatun Nafs.

Kak, saya nanya kak.. saya sekarang sangat down dengan orang yang mengatakan saya sangat kurus, salahkah jika saya berdoa kepada Allah tentang itu, selain saya juga berusaha. Tidakkah itu namanya kufur nikmat Kak?

25 Agust 2010
10:53:38

Kamu mintanya sama Allah yang terbaik buat kamu, karena sesungguhnya Allah lah yang paling tahu yang terbaik buat kita kan.. lihat al baqarah 216.
Jadi doa kepada Allah jangan minta gemuk, tapi minta Allah berikan yang terbaik untukmu, menurutNYA. Kalau kamu mau tambah berat badan tentu tidak masalah. Tapi usahanya yang wajar-wajar saja jangan sampai kelewatan dan zalim pada diri sendiri. Ingat untuk perut itu 1/3 buat makanan, 1/3 buat minuman, 1/3 buat pernapasan.. makan-makanan yang bergizi, makan teratur, istirahat yang cukup, Allah kan juga sangat menyuruh kita buat sehat…
Subhanallah, makasih ya kak, mungkin ketika orang lain mengatai-ngatai saya yang terlalu kurus, di sanalah cobaannya ya kak..

12:26:50

Ya jadi tak boleh gampang terhasut donk… fisik itu bukan segalanya Dek, ada hal yang jauh lebih berharga dari itu yang mesti terus kita benahi..

Mungkin kita sering tak sadar dengan apa yang lisan kita lontarkan. Bercanda, tentu merupakan hal yang biasa bagi anak-anak muda. Dan lagi-lagi mungkin tanpa sadar canda-canda itu sudah menggores ruang-ruang hati seseorang, padahal mungkin ketika bercanda wajahnya biasa-biasa saja, bahkan sangat ringan. Seakan ikut menikmati canda orang-orang tentangnya… Namun ketika kesendirian tiba,,, atau waktu merenung ada. Perih mulai menusuk-nusuk. Dan inilah salah satu akibatnya…..

Bukan Kehilangan diri sendiri ternyata...

Bukan kehilangan diri sendiri ternyata.. jawab baru saja aku dapatkan. Bukan kehilangan diri sendiri, kalau kita definisikan aktifitas yang kita jalani selama ini diri kita. Diri kita tetap ini, aktifitaslah yang bukan ini lagi…

Hm mungkin kita beda dalam mendefinisikan. Bagi saya, diri saya adalah aktifitas saya. Hal yang tidak bisa ditawar lagi

21:53:59

Bukan, bukan itu maksudku… di tengah aktifitas kita yang berubah, kalau kita berhasil, kita tidak akan pernah ‘menyesali’ keadaan. Aku adalah aku, aktifitas adalah aktifitas. Bagaimana tetap menjadi aku ketika aktifitas berubah dan mencoba memporak-porandakan bangunan seorang aku

Mana bisa seperti itu… aku adalah aku, aktifitas adalah aktifitas. Sudah saya katakan, memang kita beda dalam mendefinisikan. Aku_aktifitas itu satu, aku harus jujur dengan aktifitas. Kalau tidak, akan pincang. Bisakah kau terima keadaan, misal: ‘Diri’mu adalah penulis, sementara aktifitas tidak ada menulis. Terjadi kepincangan atau tidak? (ughh, kenapa terlalu mencari kata-kata untuk tidak mengalah saja)

Mana ada penulis tidak menulis J

Makanya mengalah sa ja dari tadi, kan selesai L

22:24:56

Yang jelas kalau pendefinisiannya “aku adalah aktifitas” terbatas di aktifitas saja. Hm.. berat. “Aku itu tidak hanya aktifitas”

Lah.. ini bukan masalah ngalah-ngalahan…

Ih!

22:26:45

Percakapan ringan. Ngerti tak??

Selasa, 03 Agustus 2010

Lelaki Bonding

Sesaat setelah aku memulai ritual memancing amatiran di sore yang mendung, sehabis hujan lumayan deras. Gerimis masih saja turun. Tadi, sudah banyak yang undur diri ketika titik-titik air perlahan jatuh satu per satu. Pikir yang memang lagi butuh banyak refresh mengharuskanku acuh dengan beberapa kondisi sekitar. Hanya sekali tertarik menoleh ketika terdengar suara seorang wanita, ibu-ibu, memakai baju balap hijau hitam dan topi berwarna lumut yang tampak sekali kusamnya. Dia berlari-lari kecil menuju tempat paling efektif untuk kembali melanjutkan perburuan. Di dekatku. Aku tersenyum kecil pada sang ibu.

Tak lama, gerimis menderas kembali. Dalam hening di antara lima bapak-bapak yang khusyuk, aku juga tak kalah khusyuk dibanding mereka. Derapan langkah setengah berlari berhenti tepat di belakangku. Dua pasang kaki. Terkaku. Sekarang, kukira mereka lagi mengibas-ngibaskan apa saja yang basah, bunyi tepuk-tepuk tangan yang beradu dengan jeans atau sejenisnya, tas mungkin. Mata masih kupautkan pada tali kail di permukaan sungai.
Orang di belakangku bercakap. Makin menguatkan terkaanku kalau mereka dua orang saja. Dialog mereka makin memanas ^_^ (lebay…)

Maklum. Sosok berdua itu saja yang berbicara. Bapak-bapak di sekitarku sesekali saja menoleh. Seakan ingin mengatakan, “Hei, diam!! Tak tahu kau kalau aku sedang mancing?! Bisa lari semua ikan di sini mendengar celoteh tak berkualitas (baca penuh tekanan-pen) kalian!” (ini aku yang buat-buat karena tentu saja aku tak punya kekuatan supranatural membaca apa yang mau dikatakan orang lain-pen).

Topik yang dibicarakan mereka Sinta, Merisa, cewek matre. Alah….. siapa sih! Sambil megerutkan kening. Aku mencuri lihat sedikit ke belakang. Dalam hitungan detik, kepala sudah pada posisi semula. Anak kuliahan sepertinya, yang… tunggu!! Aku menoleh sekali lagi. Rambutnya???? Bukankah dia laki-laki??? Ho..ho..

Lokasi memancing ini memang dekat dengan lokasi kampus. Sebuah universitas swasta yang dulunya begitu ternama, seindah nama salah satu pahlawan asal Sumatera Barat. Namun belakangan memang turun pamor, yah… jadi ajang nampang. Stiles mahasiswanya aduhai… beda sekali dengan mahasiswa kampusku yang lugu-lugu (^_^ peace) Aduh.. kemana ni pembahasannya

Ok. Kita mulai.

Sebenarnya ini memang bukan pertama aku melihat laki-laki yang direbonding. Bukan pula kali pertama aku mendengar percakapan ‘sengit’ tentang wanita dari mulut para laki-laki. Hanya saja penemuan kali ini membuat aku ingin menuliskannya.

Rambut lurus sebatas ketiak itu dipotong gaya. Tak begitu jelas apa modelnya. Yang pasti, menurutnya itu gaul. Belum lagi topik percakapannya, selama hampir satu jam mereka berada di tempat itu, tak ada topik lain (jangan berpikir kalau aku menyimak utuh percakapan itu).

Potret remeh dari beberapa gelintir mahasiswa. Tentu saja masih banyak yang berprestasi, ingat saja baru-baru ini mahasiswa IPB dan Unibraw yang menjuarai ajang kompetisi pangan tingkat internasional di Amerika Serikat. Banyak juga prestasi-prestasi lainnya.

Namun di sisi lain lagi tidak kita pungkiri kalau hedonis memang sudah memberati jiwa-jiwa pemuda. Yang laki-laki kesenangannya perempuan, yang perempuan kesenangannya shoping, kemewahan-kemewahan juga laki-laki.

Kalau menurutku mengenali otak dan karakter seseorang itu bukanlah merupakan hal yang begitu sulit. Dari penampilan kita melakukan pengenalan yang paling sederhana. Topik perbincangan yang dia sukai/yang membuatnya antusias, draft lagu-lagu yang sering dia dengarkan, kalau ke toko buku rak mana yang paling lama dia berhenti?