Kamis, 29 Juli 2010

Akhirnya.. Surat pendek melantun


http://www.google.co.id/imglanding?q=anak jalanan di pantai&imgurl=http://img.photobucket.com/albums

Dua bocah ragu akan menghampiri sosok yang sedang menatap jingga langit sore itu, persis di bebatuan paling ujung pantai. Tak ada reaksi sedari tadi, tubuh itu seakan beku. Deburan ombak yang menjulur-julur hampir menjilat ujung sepatunya. Namun dia diam saja. Pasti sedang berpikir. Karena kalau dilihat dari wajahnya dia bukanlah seorang yang dungu, garis wajah itu tegas, kacamata berbingkai hitam tebal memperkuat persangkaan kalau dia manusia pintar. Hanya saja mungkin ada beberapa hal yang membuatnya serupa itu.

Bocah kumuh dengan celana di atas lutut mendorong rekannya yang berpostur lebih kecil. “Kamu saja,” begitulah mungkin katanya.

Sementara yang didorong, ragu. Kaki hitam berdaki miliknya berhenti paksa. Dia menggeleng.

“Aden alah tadi mah,” tutur bocah pertama yang lebih tinggi itu, umurnya mungkin baru sekitar 8-9 tahun. Yang jelas dia pasti lebih tua dari bocah kedua. Terlihat dari bagaimana caranya berlaku pada bocah kedua.

Keragu-raguan mereka ternyata membuat sosok itu menoleh. Keningnya berkerut. Namun selang beberapa detik saja, wajah itu sudah dihiasi senyum. Tangannya melambai ke dua bocah itu.

Sang bocah langsung saja mendekat sambil memukul-mukulkan segerombolan tutup botol gepeng yang dirangkaikan dengan bilah sepanjang kira-kira 15 cm itu. Membentuk suara gemerincing yang sama sekali tak merdu.. dia mulai bernyanyi.

“Tidak, tidak,” ujar sosok itu. “Aku tak suka lagu itu,” sambungnya.

Bocah kedua berpikir sejenak, sementara bocah pertama tadi melihat saja. Manyun.

“Lagu yang Islamilah,” sambungnya kemudian.

Sang bocah kemudian mulai berdendang lagi, “Isabela adalah…..”

“Waaaaa… itu kan tidak Islami.”

“Yang Islami bagaimana, Kak,” akhirnya bocah pertama buka suara.

Kening sosok itu kemudian berkerut. Berpikir. Mana tahu mereka kalau kusuruh bernasyid ria.

“Hmmm…. Pokoknya yang Islami deh…”

Bocah besar akhirnya berdendang… “Dari pada kita pacaran lebih baik kita salawatan…”

Seketika sosok tadi terbahak… “udah deh tidak usah nyanyi,”

“ye… kakak….” bocah kedua protes.

Sosok itu kemudian mengangsurkan mushaf berukuran 15x10 cm. “Ngaji saja satu baris,” tuturnya.

“Ndak pandai awak do, Kak,” bocah pertama segera menjawab, etika anak jalanannya mulai bermain.

“Ha… masak ndak pandai? Alah kelas bara?”

“Kelas tigo,” jawab bocah pertama malas..

Lama.. terjadi perbincangan dan tawar menawar request.

Akhirnya kedua kubu lelah…

“Surat pendek deh…. Terserah,” sosok itu menawarkan alternatif lagi. Badannya mulai kembali ke posisi awal sebelum kedua bocah itu datang.

“Kalau ndak pandai juga, kakak juga ndak pandai kasi uang.”

“Kak…”

“Kak…”

“Kak…”

“Kak…”

Bergantian mereka membujuk sosok yang dipanggilnya kakak itu.

Sosok itu menggeleng. Oke, kita adu ketahanan, batinnya.

“Kak…”

“Iya kak… Al kautsar,”

“hmm…” cuma itu tanggapan yang hadir. Namun ada senyum tertahan di sana.

Kedua bocah itu serempak, “inna a’thoina kal kautsar…………………………………….. (dengan irama yang sungguh khas)

SENYUM yang sedari tadi tertahan mengembang sempurna..

Dia membalikkan badan sepenuhnya ketika kedua bocah menuntaskan bacaan surat pendek itu. Memegang bahu bocah kedua yang lebih kecil, “Urang minang itu mesti paham benar akar adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, lagu-lagu pun juga harus berbobot. Awak ketek, lagu, lagu urang gadang sado,” sembari merogoh saku dan mengangsurkan beberapa lembar ribuan.

Entah mengerti atau tidak dengan kata terakhir dari sosok tadi, yang jelas kedua bocah itu sudah menghambur begitu gembira sambil mengibar-ngibarkan lembar-lembar ribuan. Hampir 45 menit bersama kakak itu….. padahal biasanya mereka cuma butuh tak lebih dari 5 menit untuk satu/serombongan orang yang didatangi.

Setelah membaca Pak Comblang Kang Ian dan SSD-nya Puch



Jadi sedikit teringat kejadian beberapa waktu lalu……. Beginilah kurang lebih reka ulangnya…

Nelangsa, begitulah kira-kira dia ketika mendengar berita yang sungguh tiba-tiba malam itu. Runtuh sudah sebuncah harapannya untuk berdampingan dengan seseorang yang minimal sudah mengerti bagaimana jalan hidup yang dia pilih. Dalam sebuah jamaah dakwah, menciptakan generasi Rabbani.

Bukan karena laki-laki itu tak tampan, tak kaya apalagi, memang sungguh bukan itu yang menjadi kriteria teratas yang sudah dipetakan dalam proposal hidupnya. Dia hanya menginginkan sesosok laki-laki tarbiyah dan mengerti ketika berbicara tentang perjuangan… dakwah… karena seperti bagaimana buku-buku yang dia baca… dia benar-benar ingin menjadi pendamping yang sangat ingin menguatkan kaki sosok itu di jalan dakwah. Menauladani bagaimana Khadijah atas Rasulullah…

Merajut cita-cita bersama dalam membangun peradaban islam di muka bumi ini.

Sungguh bukan karena dia tidak mengenyam pendidikan di kampus yang menjadi kendala di hatinya, bukan pula karena pekerjaannya yang hanya seorang petani. Ah, kenapa semua menjadi sebegitu rumit seperti ini? Dalam.. dia memijit kepalanya yang tak terasa sakit. Sengaja kakinya dipasungkan di tepi sungai ini, ia memilih untuk tak segera pulang sehabis mengajar hari ini, hanya ingin sendiri untuk beberapa saat.

Entah mengapa.. terlintas dibenaknya kalau kecimpungnya di dunia ‘ini’ akan segera berakhir. Segera, setelah laki-laki itu resmi menjadi walinya, dan itu taklah berapa lama lagi.

Tipenya yang pendiam ternyata memang menjadi bumerang. Teringat kembali ketika semester delapan kemarin sang ayah berkata, “Bagaimana Ra, sudah punya calon?”

“Calon apa, Yah…” ujarnya tersipu, kembali ditekurinya jahitan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Pagi besok, ibu sudah akan memakainya, ke pesta pernikahan anak tetangga. Seusianya.

“Ayah maunya selesai wisuda nanti kamu langsung menikah saja, ndak baik berlama-lama. Sekarang kalau kau sudah punya pacar, calon maksud ayah. Baik kalau kau kenalkan kepada ayah,” ayah bertutur datar penuh wibawa.

“Hm..,” nafasnya menghela berat. “Saya tidak punya pacar, Yah,” katanya kemudian lantas mengalihkan pembicaraan.

Tak pernah dia menduga ternyata jawaban itulah yang menjadi sumber sang ayah memutuskan untuk menjodohkannya dengan salah satu kerabat dekat. Pulang ka bako. Sang ayah sangat tahu sekali bagaimana sang anak berinteraksi dengan laki-laki. Terakhir masa SMA dia melihat adanya interaksi sang anak dengan teman laki-laki. Empat tahun kuliah, tak pernah terdengar sedikit pun di telinga sang ayah kalau dia berpacaran dengan seseorang. Padahal di jaman sekarang sungguh sangat jarang mereka yang tidak memiliki pacar. Seperti gadis-gadis lain di desa itu. Sang ayah menyimpulkan sendiri, kalau sang anak tak sanggup mencari sendiri. Harus dicarikan!

Perjodohan itu tak pernah dia tolak, hanya kepada beberapa orang saja dia menceritakan kisah sepotong hatinya. Tak ada kemungkinan secercah jarum pun untuk menolak. Dia lebih memilih berdamai. Hanya ayat ini yang menjadi penguatnya "....dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)....)

Jumat, 16 Juli 2010

Ketegaran Langkah Pascakampus


Udara malam pasca hujan menusuk-nusuk. Tak ada jaket yang akan dirapatkan untuk menghalau udara yang sekan merambat membekukan. Wira menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya satu sama lain, mengurangi dingin. Di pangkuannya terbuka al matsurat.
Beberapa menit yang lalu kami baru saja menuntaskan magrib. Dan beberapa menit lagi, seorang sahabat akan berangkat. Lagi. Sejatinya pertemuan pasti ada perpisahan. Sama seperti adanya kehidupan maka akan ada kematian, ajal. Karena sesungguhnya semua memang diciptakan berpasangan.

Berapa tahun sudah kita berkutat dengan buku, diktat-diktat tebal, tuts-tuts keyboard, radiasi komputer/laptop, mempelajari segudang teori, materi. Dan kini… tiba saatnya dia meloncat menjadi aplikasi-aplikasi di tengah interaksi dengan sekian makhluk di muka bumi ini. Namun tetap kemampuan berkomunikasi yang menjadi poin terurgen dalam membina hidup pasca kampus, kupikir. Tak hanya tuntas dengan IPK Summa Cumm Laud, tak cukup dengan keahlian mempresentasikan ide dan gagasan. Masih panjang deretan keahlian yang mesti kita kantongi agar ‘diterima’ di luar sana. Kawan…
Tak sedikit wisudawan yang tergugu ketika telah mendapatkan secari kertas itu. Akan dibawa kemana?

Pascakampus, saat kita membuktikan ketangguhan hidup yang sebenarnya. Karena ketika masih dalam tempurung kampus, megahnya dunia idelaisme, kita belumlah menjadi manusia yang sesungguhnya. Ketika itu kita hidup di tengah-tengah manusia yang satu komunitas, dan beruntung jika bertemu dan dekat dengan orang-orang yang memiliki prinsip hidup, idealisme, keteguhan pemikiran. Pun ada yang mengusik itu tak begitulah berarti karena ya sama… yang kita hadapi adalah satu komunitas. Akademik. Tak kan jauh-jauh dari itu..

Kini… giliran kau.
Tadinya aku pikir tak akan mengantarmu.. seperti biasa, itu caraku mencintaimu. Tak ada di saat-saat mengharukan. Karena sebenarnya aku memang tak begitu suka dengan suasana seperti itu. Dramatis.

Kaus putih yang membungkus kakiku memang sudah basah sejak tadi, kugerak-gerakkan dia yang berbalut sandal gunung itu. Kalau tanpa aktifitas akan semakin dingin.

Aku terpaku sejenak pada sosokmu yang membelakang. Kau berangkat dengan dandanan yang membuatku tersenyum. Rok hitammu sobek membentuk sudut siku-siku dengan sisi 4 cm plus minus. Sementara jilbab hitam presmina yang kau kenakan juga bernasib sama, sobek hampir 10 cm, untung saja cuma di ujungnya dan itupun sudah kau tutup dengan jaket ‘kebesaran’ kita. Kalau boleh berkata, kau kusut sekali ^^

Ingatanku melayang
Saat melangkah bersamamu dalam aksi-aksi itu. Berkejar-kejaran mengejar waktu rapat pukul 06.00 pagi (dan aku begitu menang kalau kau datang setelahku dan akan memberengut kecewa ketika mendapatimu sudah duduk duluan di atas sajadah panjang mushala-mushala kampus), melewati malam-malam tanpa picingan mata, evaluasi berbagai macam perkembangan diri, berapi-api menyusun target-target masa depan. Yang kadang orang berkomentar. Gila. Kita justru menyambutnya dengan deraian tawa. Dan mengatakan tidak ada yang tidak mungkin, jika ALLAH menghendaki.

Obsesi yang terbagi tiga menurunkan tujuan, sasaran dan target. Di bawah tujuan itu ada ibadah pada-NYA, di bawah sasaran ada Ridha-Nya, dan finishing di target adalah jannah-NYA. Kemudian semua itu dirangkum dalam satu garis dan frasa amal-amal nyata. Dilanjutkan dengan draf 100 impian kita. Kau bawakah kertas itu ke sana?? Ukhty….

Selamat jalan untuk terus melingkari mimpi-mimpi itu dengan spidol merah. Dan kalau kau berkenan, laporkan padaku setiap kau melakukannya. Insyaallah sangat akan memacuku berlari lebih kencang lagi.
Ana uhibbukifillah…
Semoga ALLAH mempertemukan kita di tempat yang paling mulia kelak. Untuk orang-orang yang beriman, bagi orang-orang yang bertakwa. Istoqomah, itu satu kunci lagi.

16 Juli 2010
21:10
Pasca mengantarnya dari BIM

Kamis, 15 Juli 2010

Di Dadamukah Palestina???





Berita yang timbul tenggelam tentang salah satu tanah suci umat Islam, Palestina. Seiring dengan berjalannya waktu, media pun tak lagi marak memberitakan bom-bom yang mengguncang Palestina. Yang meluluhlantahkan sekian lagi bangunan, yang merenggut sekian lagi manusia. Ibu kehilangan anak dan begitu juga sebaliknya, dan begitu pula seterusnya.

Penting bagi kita untuk mematrikan di dalam diri bahwa kemerdekaan Palestina adalah cita-cita kita bersama, umat Islam. Banyak di antara kita yang masih belum mengerti atau malah enggan untuk terlalu ribet memahami mengapa kita mesti turut berjuang untuk palestina.

Dahulu kita semangat untuk menggalang dana namun karena beritanya tak lagi marak, ditambah lagi malas mengunjungi situs-situs yang memuat info terbaru Palestina, kita melupakannya. Yang dulu sudah berkomitmen untuk memboikot produk-produk yang turut memberikan dana pembantaian untuk saudara-saudara kita di Palestina kembali pudar. Biasa saja lagi memakai produk-produk. Dengan alasan tidak cocok dengan produk lain.

Pernah seosang teman bertahan untuk tidak menggunakan salah satu pembersih muka bermerk tuut (sensor). Walhasil, wajahnya jerawatan. Dia tak gentar, cukup lama dia mengalami ‘kesengsaraan’ pada wajahnya. Pernah sekali dia coba memakai produk itu kembali, hasilnya memang jerawatnya berkurang. Namun dia berpikir, mengingat-ngingat kembali dan membaca literatur tentang sumbangan besar produk-produk bermerk tersebut untuk persenjataan orang-orang Zionis. Danj kemudian fia menjafi orang yang bertahan… Memboikot segala macam produk yang dananya menyumbang untuk gerakan Zionis.

Beberapa tips supaya Palestina selalu hidup di dadamu…

  1. (Bagi yang masih bingung_pen) pahami alasan mengapa mesti peduli dengan Palestina
  2. Adakan pencarian kabar terbaru tentang palestina, seminggu atau minimal sebulan sesekali, atau ikutlah di grup-grup Dumay terkait Palestine up to date.
  3. Tontonlah video-vidio palestina
  4. Selalu sisihkan sedikit uang saku kita untuk saudara-saudara kita di Palestina, bila perlu sediakan tabungan khusus bertuliskan kata-kata yang menyentuh seperti “Save Palestina”.
  5. Boikot produk-produk yang memberikan sumbangan terhadap misi-misi zionis
  6. Cari info tentang produk-produk tersebut di Internet
  7. Berkomitmenlah untuk tidak menggunakannya, selama-lamanya…
  8. Selipkan doa di setiap harinya untuk kemerdekaan Palestina

Senin, 12 Juli 2010

Tarbiyah di tiap kejadian...

http://archive.kaskus.us/thread/2750365
10:19 pm
12 Juli 2010
Setelah monitor mau juga berkompromi, ah.. sebenarnya dia sudah lama teriak-teriak. “BAWA AKU ke PAK UJANG!!!!!”
^_^

Adzan berkumandang. Bergegas kami sudahi saja uji kesabaran itu, langkah sengaja diperlebar. Kuangsurkan telepon genggam ke Shaffy. Lantas kemudian menuruni batu-batu koral yang sengaja disusun begitu rapi. “Kita shalat di masjid dekat sini saja,” tuturku sambil menunjuk arah masjid yang hanya sekitar 10 m dari tempat kami sekarang. Shaffy hanya mengangguk, tangannya sudah meraba kantong jaket hitam sebelah kiri. Mengeluarkan kunci motor bertuliskan 4 frase save Palestine.

Usai shalat, “Hp-ku,” ujarnya menatapku, diikuti gelengannya.
“Ceroboh!” tuturku halus. Kami telusuri kembali jejak tadi. Sayang sama sekali tak ditemukan. Nadanya silent juga mungkin. “Sudahlah… tak apa, tidak rezeki,” tuturnya bijak, walau kutahu getir ada juga di sana. Itu Hp pemberian ayahnya, sudah sangat lama, walau sebenarnya untuk ukuran sekarang sudah sangat butut. Yah, dia memang tipe setia. Termasuk juga terhadap barang. Sepatu kalau tak sobek tak diganti, tas kalau tak bolong juga belum akan dipensiunkan. “Zuhud,” candanya ketika ditanya.

Sepanjang jalan aku beristighfar. Hmm… pasti ada yang salah di antara kami berdua sehingga Allah memberi ini. Lirih, namun tetap terdengar olehku yang sedang konsentrasi menembus malam. “Aku lupa infak kemarin,” katanya.
Pikiranku pun menerawang…
Ah, beruntung sekali kau, langsung dapat alarm seperti itu. Dan yang lebih beruntung lagi, kau memiliki kesadaran untuk memaknai setiap kejadian yang menimpamu.


Seringkali kita acuh dengan kejadian-kejadian (baca: bencana-bencana) kecil yang menimpa kita. Dia lewat begitu saja tanpa rasa. Padahal dalam setiap kejadian itu ada pelajaran, pendidikan bagi nafs-nafs. Ketika kaki tersandung, kita hanya spontan mengatakan “aduh”. Hanya sebatas itu, tidak merenung. Kesalahan apa yang sudah saya lakukan hari ini?

Minggu, 04 Juli 2010

Langit Malam di...

Mengilau kilatan terang di atas sana
Penghias langit di atas malam
Biasanya orang kan kagum, jika melihat sinar di tengah gelap
Tapi, di sini kau justru melihat terang yang tak diharap
Tak ada anak-anak yang bersorak riang di bawahnya
Seperti mercon-mercon yang ada di Negara kita
Tiada sama sekali bawa riang
Justru ketika itu bibir-bibir bergetar
Badan-badan kelu gemetar

desingan dan dentuman menyusul setelah cahaya …

Hingga siang datang
Kau kemudian melihat puing
Menatap mayat yang lagi-lagi mayat
Sosok yang tak sempat menghindar tadi malam
Atau malah sosok yang tak harap lagi hidup
Sehingga mati lebih jadi pilihan menyenangkan

Kau kan tampak wajah gagu
kemarin kulihat, memutih bibirnya
Kumal muka layuhnya oleh air mata yang mengering di kedua pipi mungilnya
Menatap takut pada setiap orang baru yang menghampirinya…
Ah, dia terlalu dini untuk kenal meriam, bom, dan potongan-potongan mayat…