Kamis, 30 Juni 2011

Penjual Susu Kedelai di Taplau

Jika teman-teman sekolahnya sedang menikmati masa-masa indah libur panjang kenaikan kelas, maka Wanda berbeda. Pagi-pagi sekitar pukul 07.00 Wib. dia sudah mangkal di Simpang Taman Budaya tepi Pantai Padang. Rutinitas menjual susu kedelai kemasan ini memang sudah dilakukannya setiap hari libur.

Dia tidak pernah malu dengan apa yang dilakukannya. Baginya berjualan justru memberikan banyak pelajaran berharga, seperti kemampuan menghadapi orang lain dan trik bersosialisasi dengan pembeli.

Anak bungsu dari lima bersaudara ini memang tidak terbiasa bermanja, meski berasal dari keluarga yang tidak begitu kekurangan dia merasa sangat senang bisa membantu orang tuanya.

"Bisalah untuk tambah-tambah uang jajan sekolah dan membeli barang sendiri, jadi tidak perlu banyak minta sama orang tua," kata gadis berkulit putih itu sambil tersenyum.

Berbeda dengan Wanda yang berjualan susu kedelai hanya untuk mengisi waktu luang, Imel, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Yayasan Tarbiyah Islamiah (Staiyastis), menjual susu memang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia sudah mulai berjualan sejak akhir 2006, ketika dia masih kuliah di IAIN Imam Bonjol Padang Jurusan Hukum Syari'ah.

Setelah menuntaskan pendidikan di IAIN itulah keinginannya untuk menjadi guru begitu menggebu. Akhirnya dia memutuskan untuk kuliah lagi di Jurusan Pendidikan Agama Islam Staiyastis, tentu saja dengan konsekuensi yang tak mudah, biaya sendiri. Dia mafhum orang tuanya yang petani sudah tak begitu sanggup membiayai, usia yang mulai renta membuat bekerja tak lagi bisa maksimal, belum lagi membiayai saudara-saudaranya yang lain.

Anak kelima dari sembilan bersaudara ini memang anti dengan hidup manja. Dia sama sekali tidak ingin membebani orang tua dan saudara-saudaranya.

"Orang tua saya tak mungkin lagi memberikan tambahan biaya, jadi memang saya yang harus lebih gigih berusaha untuk mencukupi biaya hidup dan biaya kuliah sendiri," katanya.

Pertimbangannya mengambil kuliah di Staiyastis pun karena biayanya yang agak sedikit lebih murah dibanding kampus-kampus lain. Dia benar-benar harus mengencangkan ikat pinggang.

Sehari-harinya dia membawa sekitar 80 bungkus susu. Untuk pembagiaun upah, dia mendapatkan 25% dari harga jual. Harga per bungkus susu tersebut Rp2 ribu, berarti dia mendapatkan Rp500 dari tiap bungkus susu yang berhasil terjual. Kalau untuk yang bubuk, dia mendapatkan Rp5 ribu per bungkusnya, harga bubuk susu kedelai yakni Rp30 ribu.

Keberaniannya dalam menghadapi keterbatasan materi merupakan hal yang patut ditiru. Sering dia pinjam-pinjam uang teman dulu untuk menutupi uang kuliahnya. Namun itu tak menjadikannya surut dalam menggapai cita-cita.

"Minat saya menjadi guru begitu menggebu, saya merasakan kemuliaan yang berbeda ketika berdekatan dengan anak-anak, mendidik dan mentransfer ilmu kepada mereka," katanya kepada Singgalang, Rabu (29/6).

Sekarang Imel sudah tahun akhir di Staiyastis. Masih dalam proses menyelesaikan skripsi. "Doakan saya segera wisuda dan bisa mengaplikasikan ilmu saya, menjadi guru," tutupnya dengan mata berkaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar