Rabu, 22 Juni 2011

Mengais Rezeki di Pasar Bandar Buat


Pagi yang jernih, shalat subuh baru saja usai di masjid-masjid. Ibu-ibu bermukena putih berjalan pulang kembali ke rumahnya. Rata-rata umur mereka memang sudah tua, menikmati masa tua dengan persiapan menuju mati memang mungkin membosankan namun setidaknya memang tidak ada begitu banyak obsesi lagi yang ingin dicapai di umur yang sudah senja itu. Mempersiapkan diri menghadapi gerbang kematian mestinya lebihlah dominan. Seperti gurauan yang mengatakan, tunggu tua dulu baru taubat. maka wajarlah kalau perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki tua lebih mendominasi masjid.

Jika perempuan-perempuan tadi bisa berkesempatan untuk santai menikmati subuh di masjid, dan kemudian pulang melakukan aktifitas ringan di rumah maka akan sangat berbeda dengan Mimin, 65. Pukul empat subuh dia sudah bangun untuk selanjutnya mendatangi rumah Niang tempatnya mengambil cubadak untuk dijual di pasar Bandar Buat Padang. Cubadak yang sudah sudah dikarung kemudian dipikulnya bersama sang suami, Ijun.

Jarak tempat mengambil cubadak dengan pasar baginya lumayan dekat, sekitar seratus meter. Sudah terbiasa untuk memikul-mikul beban berat meski usia sudah dibilang lanjut.

Sementara anaknya Lian, masih mengorok di rumah. Anak bungsunya itu memang menjadi pikiran luar biasa baginya.
"Karajo nyo ndak nio, tiok ari pai malala se samo kawan-kawannyo," ujar Mimin.

"Tapi baa lai, bagian awak lah mode ko," tambahnya sendu.
Sendu itu hanya berlangsung sebentar, wajah keriput yang dibedaki sembarangan itu sekejap berubah ceria kembali.

Seperti yang dikatakan Duni, pemuda penjual ayam yang berjualan tepat di depan lapak sang amak mengatakan kalau pasar itu tidak ado amak Mimin, ibarat Opera Van Java tanpa Sule. Tidak ramai.

Sang amak menyunggingkan senyum dan serentak memamerkan barisan gigi kuning yang tak lagi utuh. Entah tahu tidak dia dengan Opera Van Java, tetapi ketika mendengar orang-orang di sekitarnya serentak tertawa dia turut jua tertawa.

Setiap harinya dia menjual cubadak sampai 50an buah. Tapi lebih sering kurang dari itu, kadang malah banyak cubadak yang tidak lagi bagus, tidak bisa dijual.

"Cubadak ini amak buka, dipotong-potong kemudian dimasukkan dalam plastik, satu kantong plastiknya dijual Rp 5 ribu. Tapi kalau kadang ditawar-tawar juga sementara hari sudah sore saya beri saja Rp 3 ribu hingga Rp 4 ribu," terangnya.

Harga Cubadak tersebut dari Niang sebesar Rp 2500, kalau terjual semua sekitar 50 buah berarti uang yang didapatkan mencapai Rp 250 ribu. Separuhnya disetor ke Niang, sementara separuhnya lagi barulah diolah amak Mimin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun sayang, uang sebesar Rp 125 ribu per hari itu seakan tak lengket di tabungannya.

"Awak manggaleh hari ko untuak makan hari ko," ujarnya.

Dia kemudian panjang lebar kembali menceritakan kesusahan hidupnya, tentang tiga anaknya yang sekarang sudah hidup memisah. Tentang si bungsu yang susah diatur.

Sesekali Duni menimpali dengan kata-kata yang agak kasar. Tapi sang amak Mimin nampak sudah begitu akrab dengan Duni. Meski bahasa yang biasa digunakan orang-orang pasar ini agak kasar, pada dasarnya mereka memiliki kekeluargaan yang kuat.

"Kalau pintar bergaul, dimana-mana kita akan banyak kawan, kalau sebaliknya, ya dimana-mana kita akan dapat musuh," tutur Duni.

Dia yang sudah akrab dengan dunia pasar sejak kelas tiga SD ini begitu paham akan watak orang-orang pasar. Watak yang juga mengalir di darahnya. Berkelahi itu gampang saja kalau tidak pandai-pandai menempatkan diri. Kalau tidak bisa bertoleransi akibatnya akan parah.

Selama 18 tahun turut berjualan ayam di pasar itu telah menempanya menjadi pria yang bertanggungjawab. Biaya orang tua sudah dia yang menanggung, bapaknya sakit-sakitan di rumah dan ibu juga sudah tak begitu kuat untuk banyak bekerja seperti dulu. Dia menginginkan orang tuanya di rumah saja santai menikmati masa tua, makanya ketika di pasar berada di dekat amak Mimin dia juga memperlakukan beliau seperti ibunya. Ada terbersit kasihan di dadanya.

"Kalau awak memang nionyo urang tuo tu alah sanang, ndak usah karajo kayak giko lai, tapi kalau amak ko, kalau inyo ndak karajo ndak makan lah nyo," ujarnya lirih.

Duni yang hanya tamat SMK ini dulunya sempat bercita-cita jadi tentara namun setelah dua kali tes dia tidak lulus. Dia menyerah dan mulai menetap menjadi penjual ayam. Sehari-harinya dia menjual ayam sampai 80 ekor. Ayam yang diambilnya dari daerah Ketaping itu memberikan keuntungan sekitar Rp 200 ribu sampai Rp 250 ribu perhari.
"Uangnya saya gunakan untuk biaya hidup saya, kedua orang tua, dan tiga adik saya," katanya.

Dia juga menabung untuk persiapan masa depan adiknya yang sekarang masih duduk di bangku SMP dan SMK. Si bungsu dia persiapkan untuk menjadi tentara, melanjutkan cita-citanya yang tidak tercapai.

"Kalau adik saya yang paling kecil itu memang minta, bang aden beko nio jadi tentara," katanya menceritakan ungkapan sang adik.

Dia tersenyum. Paling tidak sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga.

Macam-macam lagi pernah-pernik kehidupan pasar yang membuat meringis orang yang mendengar. Pekerjaan kuli angkut, tukang parkir, orang-orang tua yang masih harus berjuang menyambung hidup dengan jualan kangkung.

Sebut saja Una, 58, sehabis subuh dia berangkat dari rumahnya di daerah Pisang. Kangkung yang sudah diambilnya kemarin sore dibawanya ke Pasar Bandar buat. Pagi itu, Rabu (7/6) dia hanya membawa sepuluh ikat kangkung. Per ikatnya dijual seharga Rp 2000. Dulunya, Una mengaku berjualan di Pasar Raya Padang. Namun setelah gempa dia tidak punya tempat lagi. Akhirnya pindahlah dia ke Pasar Bandar Buat. Dagangannya digelar di dekat tempat parkir motor, dipinggir jalan raya. Sengaja menyudut agar tak mengambil banyak tempat.

Sesekali, petugas retribusi juga menagihinya. Hmm.. padahal berapalah hasil jualan kangkungnya yang hanya beberapa ikat itu.

Tiba-tiba dua bocah berlari-lari dari sudut melintasi tempat parkir dan jajaran penjual ayam. Sang kakak nampaknya berumur sekitar 5 tahunan, dia berlari di depan sembari memegang erat tangan bocah laki-laki yang taksiran umurnya barulah 3 tahun. Kesan kumuh begitu melekat.

Amak Mimin melambai dan memberikan uang ribuan kepada keduanya. Disempatkannya untuk mengusap kepala bocah yang laki-laki. "Kasian mereka, sudah lama ditinggal ibunya," kata amak Mimin.

Pasar Bandar Buat sudah beranjak riuh, pedagang sudah berbaris rapi di posisi masing-masing. Ada yang sibuk menggiling lado, ada yang memercik-mercikkan air dingin ke papan yang akan diletaki ikan, ada yang mulai berteriak-teriak meneriakan dagangannya dan banyak lagi aktifitas beragam lainnya.

Pembeli-pembeli sudah mulai ramai berdatangan. Bertransaksi jual beli.



1 komentar: