Sabtu, 12 Februari 2011

Thursina: Ibnu Sina

Sehabis mendapatkan pembimbing di sore yang aneh.. Suasananya sungguh berbeda tapi bukan karena berita-berita yang belakangan muncul kalau akan ada gempa yang sangat besar menimpa kota padang. Dengan prediksi waktunya sekalian. Benar-benar…

Anehnya karena cercaan Mr. WC sama sekali tak membuatku kesakitan, senyumku terus mengembang pasca keluar dari RBC2. Mata yang memang sudah sangat berat entah kemana, energi hasil makan tadi siang juga sudah sirna…. Baru beberapa hari ini berbuat sedikit ekstra. Atau… mungkin mulai tak sadar kalau berguyur zalim lagi…

“Pergi yok…” ujarku pada Shaffi yang berbaik hati menemani sejak dzuhur tadi.

“Kemana?”

“Tempat yang menenangkan, jangan ribut..”

“Kemana?” ulangnya.

Aku mengangkat bahu, menaikkan alis, “Terserah kamu.”

***

“Ada yang mau dijenguk di rumah sakit?” kata shaffi di tengah perjalanan.

“Iya..iya, ke rumah sakit saja. Ibnu Sina, ya…”

“Mengenang Januari…” ujarnya.

Aku tersenyum. “Hm.. ya, sekarang sudah tak terkendali lagi.”

***

Kami memasuki pelataran rumah sakit yang tak cukup luas itu, Mushala dengan warna tersendiri –beda dari warna gedung-gedung lainnya--, hijau muda yang terang.

“Ke UGD,” kataku.

Kami segera menuju sisi kiri. Pintu UGD terbuka sedikit. Kami sempat mendengar erang tubuh tua di dalam sana. Bapak-bapak. Di pergelangan tangan kanannya sudah mencocok jarum infuse. Bibirnya kering, pucat. Lirih.. rintih satu-satu keluar. Karena suasana di dalam sangat sibuk. Kami memilih untuk langsung ke lantai 2 rawat inap Marwa.

“Sebenarnya bagus ke M. Jamil, lebih berasa… kan poinnya muhasabah…” tutur Shaffi.

Thursina 1

Kubaca plang nama yang menjadi tempatku menjelang pertengahan Januari lalu…

Ampuni hamba ya ALLAH… Aku akan baik-baik lagi menjaganya … sehat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar