Sabtu, 12 Februari 2011

Gempa 3 Desember 2010

“Terinjak-injak sama orang Kak,” ujarnya tertahan, Jumat (3/12). “Mungkin empat atau lima orang” lanjutnya.

Menunduk aku melihat kakinya. Biru. Kupegang sedikit, dia mulia meringis dan perlahan air matanya mengucur. Tersedu. Berbekal ajaran amatir pelatihku 5 tahun yang lalu aku mencoba memeriksa kondisi kaki Adik paling bungsu kami itu.

“Sakit Kak...”

“Tahan..” ujarku.

Cidera-cidera yang terjadi karena kecerobohan, kepanikan yang tak tentu arah. Kondisi lokal kampus yang umumnya memiliki satu pintu atau dua pintu sempit sangat rawan untuk kondisi-kondisi seperti ini. Umumnya mahasiswa panik berlarian ke luar lokal. Tak peduli akan menabrak orang, menginjak orang, yang penting duluan keluar. Selamat diri sendiri dulu lah.. begitu konsepnya. Sementara di radio terdengar beberapa berita yang mengatakan kalau terjadi kecelakaan di sejumlah daerah. Maksud hati melarikan diri ke tempat aman sesegera mungkin, alhasil naas didapat. Motor-motor menggila, ngebut. Kendaraan roda empat? Sama saja kasusnya.

Ketakutan yang taklah dibekali ilmu. Manusiawi memang, ketika rasa takut itu datang. Namun mestilah ada manajemen diri yang baik dalam menyikapi setiap kondisi ataupun masalah. Ketenangan merupakah hal pertama yang dibutuhkan. Dengan tenang, maka otak dapat berpikir tentang solusi.

***

Sebenarnya sudah cukup dewasa dengan kewas-wasan, kekhawatiran. Empat tahun beranjak lima bermukim di Padang membuat gempa menjadi sesuatu yang tak asing lagi. Aku baru saja menapakkan kaki di lantai tiga rumah ketika guncangan 4,2 SR itu tiba. Penghuni rumah segera berlarian ke lantai paling atas.

Aku segera bergerak ke balkon paling ujung menuju arah kampus. Di gedung baru Fakultas Ekonomi sudah begitu ramai. Kabar terakhir, gedung ini memang didesain khusus untuk tempat penyelamatan ketika tsunami datang. Sementara di gedung pasca sarjana, dua orang sudah kulihat berdiri di atapnya. Di jalan-jalan, raungan kendaraan bermotor terdengar bising. Langkah-langkah bergegas sosok-sosok mahasiswa membawa tas ransel dalam ukuran yang lumayan besar, ramai terlihat.

Ingat aku dulu bagaimana pengalaman pertama merasakan gempa di Padang. Aku masih tahun satu. Sedang kuliah Mata Kuliah Umum (MKU), Bahasa Iggris dengan dosen berinisial RN. Semua panik, ada yang pingsan ada yang terinjak-injak, menangis. Aku hanya termenung, mencoba tenang dan akhirnya dosen itu berteriak padaku... cepat keluar!!! Ketika sekilas menoleh ke belakang dindingnya sudah terasa akan runtuh... Trauma yang luar biasa sebenarnya dan coba disimpan serapat mungkin. Karena benar-benar tak mungkin menjadi orang yang ikut-ikutan panik di tengah orang-orang panik.

Hari ini harus mengurus surat penelitian. Aku kembali ke kampus dan... Jurusan ternyata tutup. Kampus lengang. Berbalik menuju perpustakaan, nasibnya sama. Yang kuliah libur tanpa rencana. Mahasiswa kocar-kacir dosen entah kemana. Bagaimana pula nasib mereka yang butuh berurusan dengan birokrasi sesegera mungkin ini? Semua jadi mandeg. Akibat manajemen yang tidak efektif, “masih digodok,” kata mereka di atas sana. Sampai kini baru dua fakultas yang sudah melakukan sosialisasi dan simulasi gempa. Sambutan mahasiswa pun membuat miris. Ingin tetap menikmati ketakutan-ketakutan itu.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar