Sabtu, 12 Februari 2011

Aku menyuapkan nasi dengan tercekat. Isak tertahan membuatnya begitu susah untuk ditelan. Aku menunduk dalam, menyembunyikan mata yang mulai tergenang. Nafas tertahan. Cepat kuusap kuat air mata yang mulai menetes.
“Perempuan, lakunya aneh-aneh saja. Malam-malam,” katanya sama sekali tak peduli dengan perasaaanku.
itu saja ucapnya, setelah melontar kata tidak yang cukup penuh tekanan. Pertanda tak ada lagi toleransi. Sementara ibu hanya diam.
Usai adegan makan menyeramkan itu, aku bergegas ke kamar. Mengambil ransel gembung yang sudah sejak kemarin aku siapkan. Berisi pemberat kaki, pakaian ganti, buku ke-SH-an, dan baju seragam. Sabukku masih hitam dan akan segera berganti warna. Akan!!
Ayah di kamar. Secepat kilat aku menyelinap. Ada ibu ternyata di dapur, menatapku. Kuraih tangannya dan kucium. “Aku pergi, Bu.” Ibu menghela nafas. Tak ada kata setuju darinya, tapi kuyakin dia percaya padaku. Pagar bilah belakang rumah baru saja kulompati. “Maafkan aku ayah,” lirihku yang masih mencoba menahan tangis.
***
Sekelumit adegan itu begitu segar diingatan. Gara-gara kemarin aku merasakan hal yang sama tidak enaknya dengan rasaku dulu itu. Aku sudah memandangi daftar tempat-tempat impianku, sebentar lagi aku akan melingkari satu poin lagi. Mentawai. Ada daya tarik yang luar biasa dari pulau itu. Apalagi ketika teringat kembali kata-kata bang Effendi. “Antum mesti lihat sendiri! biar antum ngerasa. Biar antum dapet ruhnya! masa’ satu hari saja tidak bisa.”
Malu aku dengan anggukan kuatku ketika itu.
“Orang mati-matian usaha acc kompre, dia sudah di acc lah malah mau ke Mentawai, ada-ada saja,” omel ibu ketika aku menginformasikan. Padahal strategi sudah diatur sedemikian rupa. Tidak kalimat minta izin yang aku lontarkan. Tapi pernyataan
“Ibu, selasa Jilan ke Mentawai. Kamis sudah tiba lagi di Padang. Untuk daftar kompre sudah minta tolong uruskan ke Rika, Siip bu!” senyumku mengembang.
“Indak,” katanya menggeleng mantap. Aku meringis.
“Keceknyo Pariaman Mentawai tu.. Bilo se nio pulang bisa.”
Allah...
“Pokoknya ndak ada ke Mentawai Mentawai!”
Aku menatap seorang kakak, minta pembelaan. Boro-boro. dia menambahkan “Dalam keadaan seperti ini, tak akan ada yang membolehkanmu pergi ke sana.”
Menyesal tadi pagi aku menunjukkan surat persetujuan ujian skripsi itu ke ibu. Ibu kos-ku.
Untuk tidak memberitahu keluarga di rumah aku masih sanggup. Tapi bagaimana aku akan berkilah dari keluarga yang di sini. Tak mungkin aku menghilang tanpa jejak. Bohong? oh... tidak-tidak. Itu lebih tak berani aku.
Aku masih berargumen, mengelak-ngelak. Mencoba meyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa dengan kompre itu. lelah...
tetap jawabannya, “Indak ado doh...”
“Ibu...” kali ini tidak pakai argumen lagi. Tapi wajah yang luar biasa memelasnya.
“Ka mangambok, ngamboklah. Pokoknyo ibu ndak izin...”
hff...
“Yang baik bagimu belum tentu baik bagi Allah...” kata suara itu kemudian.
“Al baqarah: 216,” lirihku.
“Status perang prioritasmu sekarang skripsi itu.”
hmmmm....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar