Rabu, 01 Desember 2010

Jika Allah menjadi Alasan Utama

Ukh... kata suara di belakang tiba-tiba.

mmm.... ujarku entah terdengar atau tidak, di tengah deru angin yang cukup kencang.

“Ana ntar kalo menikah ndak mau sama ikhwan yang aktif-aktif kali organisasi,”

Glek... kok tiba-tiba mengatakan itu. “Emang kenapa?” tanyaku kemudian.

“Banyak kali dia kenal akhwat,” sendu.

“Lah... anti??” tanyaku heran. Berputar semua memori yang menunjukkan betapa aktifnya dia.

“Eh... iya ya...,” jawabnya kemudian lugu. “Tapi kan ana jaga ukh...”

“Ya akan bertemu yang jaga juga lah..” kataku. Jeda kemudian. “Hm... Ukhti....”

“Iya... iya,” katanya.

Bersama kami mengingat potongan esai yang kami baca beberapa minggu lalu ketika Allah menjadi alasan paling utama, aku berani memutuskan dengan siapa aku akan menikah. Aku tidak banyak bertanya tentangnya, aku jemput dia di tempat yang Allah suka, dan satu hal yang pasti, aku tidak ikut mencampuri ataupun mengatur apa-apa yang menjadi urusan Allah. Sehingga aku nikahi seorang wanita tegar dan begitu berbakti kepada suami. Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak melihat segala kekurangan istriku, dan aku mencoba membahagiakan dia. Ketika Allah menjadi alasan paling utama, maka menetes air mataku saat melihat segala kebaikan dan kelebihan istriku, yang rasanya sulit aku tandingi. Maka akupun berdoa, Yaa Allah, jadikan dia, seorang wanita, istri dan ibu anak-anakku, yang dapat menjadi jalan menuju surgamu.

Begitulah kira-kira kita juga...

Kalau Allah menjadi alasan paling utama untuk menikah, maka seharusnya tidak ada lagi istilah, mencari yang cocok, yang ideal, yang menggetarkan hati, yang menentram-kan jiwa, yang.. yang.… yang… dan 1000 “yang”… lainnya.. Karena semua itu baru akan muncul justru setelah melewati jenjang pernikahan. Niatkan semua karena Allah dan harus yakin kepada Sang Maha Penentu.

1 komentar: