Jumat, 25 Juni 2010

PIALA DUNIA dan 'Kita'

http://foto.vivanews.com/read/1641-stadion_bola_cape_town___afrika_selatan


Bismillah…

PIALA DUNIA menjadi sindrom luar biasa saat ini. Sampai-sampai ada akwat yang bela-belain pulang kampung untuk nonton bola, berhubung di wisma tidak ada fasilitas TV dan tidak memungkinkan juga untuk bergabung dengan kawan-kawan mahasiswa lainnya nongkrong di kedai-kedai. Apa jadinya kalau dia ikut berteriak-teriak dengan atribut lengkap akhwat di kedai nasi (Jangan dibayangkan…).

Lanjut… Simak percakapan berikut.

“Banyak sekali yang mengganggu di ujian kali ini, salah satunya ya.. piala dunia,” tutur gadis manis itu sambil tertawa renyah.

Hmm.. heran saja, akhwat kok masih saja suka bola.

“Emang gak boleh? Gak ada yang larang kan…” jawabnya.

Ya, benar sekali tidak ada melarang. Tapi bukankah sudah tahu kalau olahraga ‘sepak bola’ itu merupakan salah satu bentuk gwazhul fikri? Tidakkah kita mau menyempatkan berpikir sejenak, berapa waktu yang kita habiskan untuk sekedar menonton satu bola yang diperebutkan sekian banyak orang. Berjam-jam malah.. apalagi sebenarnya kita memiliki agenda yang lebih penting. Misalnya saja ujian tadi.

Ketika gugatan itu dilontarkan, mungkin akan ada yang menjawab. Ah, antum tu yang tidak mengerti bagaimana sensasinya ketika menonton bola, bagaimana ketika menyaksikan yang kita dukung menang, merasakan sensasi ketika meneriakkan GOAL karena salah seorang di antara pemain jagoanmu menciptakan trik yang begitu indah dan menyarangkan bola di gawang musuh? Atau kau benar-benar tak mengerti kalau itu ‘keren’, jangan sampai kuper ketika Piala Dunia ramai dibicarakan orang maka kita tak tahu menahu tentang itu.

Entah berbagai macam kata lagi yang dirangkaikan untuk menyanggah, untuk melakukan pembelaan kalau menonton piala dunia itu merupakan hal yang wajar saja. Malah sayang sekali untuk dilewatkan.

Sahabat…. Ketika menjatuhkan pilihan ke jalan ini maka kita sebenarnya sudah sadar dengan semua konsekuensinya. Bukan saja merubah atribut (pakaian takwa-pen), tapi semua budaya jahiliyah kita, semasa kita tidak tahu dulu, harus kita tanggalkan.

Sahabat… tidak ada abu-abu dalam Islam. Ketotalan kita untuk hijrah merupakan sebuah bukti kalau kita sudah serius memilih. Sangat miris saja ketika kita masih senang dengan hal-hal yang berbau sia-sia. Pun kalau ada alasan jangan sampai kita dianggap tidak tahu perkembangan, toh kita bisa segera search di Google informasi siapa yang menang langsung pasca pertandingan usai. Begitu juga dengan jadwal pertandingan kita bisa tahu dengan cepat, tanpa mesti turut menonton.

Apa bedanya kita dengan orang-orang biasa yang naotabene-nya tidak tahu, tidak paham dengan prioritas, tidak mengerti dengan pentingnya waktu jika masih juga maniak Piala Dunia?

Kalau dulu hiburan kita itu bola sekarang ketika sudah banyak membaca dan banyak paham maka mestinya hiburan itu meningkat pula kualitasnya, dialihkan kepada hal-hal yang bermanfaat. Kalau dulu hiburan ketika lagi suntuk itu lagu-lagu pop yang melenakan/atau lagu-lagu keras ex. Linkin Parka, maka sekarang harus bertahap mengalihkannya ke nasyid, kalau sudah biasa nasyid maka tingkatkan lagi kualitas penghibur atau penenang hati kita dengan lantunan murathal…

Sesungguhnya, tiap detik yang kita pergunakan di dunia ini, akan menuntut pertanggungjawaban kelak…

Wawlahu’alam bisawwab.

Finishing, 25 Juni 2010, 19:37 WIB ditemani tiga nyamuk yang belum tewas-tewas juga walaupun sudah sangat diincar untuk ditepuk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar