Minggu, 28 Februari 2010

Titik Terlemah

Di luar sana, hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status pacaran memang sudah menjadi hal yang biasa. Kalau di jaman nenek, masih pakai surat-suratan dan jika bertemu segera menyembunyikan diri. Malu. Di zaman ini, malu sudah banyak berkurang. Dunia anak muda begitu terasa memprihatinkan. Di ranah minang saja yang memegang adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, banyak anak mudanya yang berpacaran, berdua-duaan di tempat-tempat wisata, atau bahkan melakukan hal-hal yang lebih jauh lagi. Rawan maksiat. Sempat salah seorang teman mengatakan, “Beruntung kalian yang katakanlah berkomitmen untuk tidak pacaran dan mungkin tidak pernah merasakan pacaran ala 17 tahun ke atas”. Dia sedikit memaparkan bagaimana pacaran teman-temannya. Perempuan benar-benar tiada nilai lagi.
Di samping itu bahkan ada orang tua yang merestui anaknya pergi berdua, kemana-mana berdua, telepon, sms, bahkan sudah biasa dengan saling bersentuhan. Berbeda jika permasalahan ini dibawakan pada ‘dunia’ Aktivis Dakwah Kampus (ADK). Mereka yang notabene-nya sudah jauh lebih mengerti dengan tata cara pergaulan dengan lain jenis masih kecolongan juga dengan yang namanya zina hati. Pacaran ala ADK namanya tidak pacaran. Mereka tidak sering bertemu muka, berbicara apalagi jalan berdua. Zinanya dibungkus dengan hal-hal yang berbau islami, lebih santun, begitulah kira-kira. Salain mengingatkan shalat tahajud, saling menyemangati untuk pergi rapat. Wah, menggebu saja bawaannya datang rapat ketika si soleh datang atau si soleha tiba (perlu diperhatikan bagi mereka yang semangat rapatnya berlebihan, sering senyum-senyum sendiri, sering memandangi wajah di cermin, lebih suka bersolek, keriangan lebih dari biasanya, itu indikasi terjangkit virus mereh jambu atau VMJ-pen).
Biasanya interaksi yang seperti ini dialaskan dengan kata saling menasihati dalam kebaikan. Kan kami tidak melakukan apa-apa, bertemu saja tidak, apa salahnya mentausyahi saudara? Memang tidak ada yang salah mentausyiahi saudara. Tetapi kenapa harus lawan jenis, akhwat tertentu atau ikhwan tertentu dengan kontinyu? Dalam sebuah pembahasan seorang ustadz pernah berkata, “Antum boleh bangunin akhawat/ikhwan shalat malam kalau emang ikhwan sekota Padang yang antum kenal itu sudah antum bangunin semuanya!”. (terbayang kan…)
Memprihatinkan memang ketikan melihat interaksi akhwat dan ikhwan yang seperti ini. Bahkan ada juga yang sampai cek amal yaumi per minggu, shalat malam, dhuha, tilawah, semuanya. SMS atau telepon sering untuk membicarakan atau menanyakan hal-hal yang tidak penting. Padahal masih bisa menanyakannya ke sesama ikhwan atau sesama akhwat. Hanya mencari-cari alasan untuk berkomunikasi.
Teknologi yang makin canggih justru menjadi amat sangat ampuh bagi setan untuk menggugah mereka. SMS, telpon-telponan, chating, media SMS, telpon atau chating yang kontinyu sangat berpotensi menimbulkan VMJ karena pada dasarnya bicara dengan tulisan atau juga suara yang langsung diletakkan di telinga itu bisa multitafsir dan biasanya membuka peluang untuk berbicara lebih santai bahkan bercanda. Kalaus duah seperti ini otomatis setan tinggal mengipas-ngipas saja. Untuk kemudian menjerusmuskan ke jurang yang lebih dalam.
Hmmm…. Masalah klasik yang memang tidak pernah tuntas di kalangan ADK. Dulu, untuk membicarakan permasalah dakwah saja akhwat dan ikhwan sangat menjaga hijabnya, malah seorang ustadz dalam sebuah ceramah mengenang bahwa mereka sangat memperhatikan masalah hijab. Bertahan untuk tidak saling berhadapan ketika berbicara dengan akhwat/ikhwan. Sementara dari hari ke hari, budaya itu semakin luntur. Ada yang berkilah, “yang penting kan jaga hati,”. Ya, benar sekali akan tidak apa-apa jika basis ruhiyah itu kuat, diri pribadi memang tidak akan berpikir aneh-aneh ketika berbicara dengan lawan jenis. Tapi bagaimana dengan lawan bicaranya, apakah sama keadaan, pertahanan dan ruhiyahnya? Siapa yang bisa menjamin?
Dilema memang, apalagi bagi mereka yang berada di organisasi ammah yang mengharuskan berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak semuanya mengerti kalau tidak boleh bersalaman dengan lawan jenis, tidak boleh berdua saja ketika berbicara juga aaturan-aturan lainnya yang merupakan hal yang prinsipil. Tapi sebenarnya tetap saja ada jalan untuk kebaikan, kekuatan prinsip dan kekuatan ruhiyah amat sangat membantu agar berjalan tetap sesuai dengan koridor yang diberikan Allah. Agar tak melebur. Agar mewarnai tak diwarnai.
Perjuangan-perjuangan para ADK dalam menata agar diri tidak terjeblos dalam zina hati atau kerennya disebut VMJ dapat diimbangi dengan menjaga kekuatan ruhiyah. Tapi bagi yang merasa masih ketar-ketir kalau melihat perempuan (bagi ikhwan) atau laki-laki (bagi akhwat) memang harus ketat menjaga pandangannya, menghindari interaksi dan komunikasi yang tidak penting. Demi mengeliminir jalan masuknya setan.
Usia ADK sangat rawan dengan permasalahan ini. Itu normal, fitrah sebagai seorang manusia namun karena memang sudah tahu maka kewajibannya adalah melaksanakan dan memberi tahu yang lain. Jangan malah mencari pembenaran-pembenaran yang banyak dilakukan mereka yang sudah terjebak VMJ.
Suatu ketika saya pernah memergoki sms di telepon genggam seorang akwat. Isinya mengingatkan makan dan beberapa bentuk perhatian lainnya. Kata-kata yang terpampang di layar monitor tetap saja tak layak dikatakan antara akhwat dan ikhwan, ADK. Ketika ditabayuni, akhwat mengaku kalau sudah jadian selama satu minggu.
Akhwat yang aktif di organisasi dakwah, cantik, tajir memang rawan menggoda. Macam-macam alasan ikhwan untuk berkomunikasi dengannya. Pinjam Kamera digital lah, pinjam catatan lah, pinjam kendaraan, semuanya. Hmm… sayang akhwatnya tidak begitu kuat untuk menolak perhatian dari beberapa ikhwan itu. Dan biasanya memang seperti itu, tipe perempuan yang mudah kasihan dan tak tahan menerima pujian menjadi bumerang. Akhirya, salah satu dari ikhwah itu memberanikan diri untuk berkata langsung dengan si akhwat. Hubungan berlangsung. Yah, seperti biasa mengingatkan jadwal rapat, saling cerita masalah pribadi, sms, telpon, tukar catatan dan seterusnya.
Karena hati yang sudah mulai ternodai, kehadiran sang akhwat di halaqoh pun berkurang. Halaqoh tak lagi menjadi tempat menimba ilmu, membina ruhiyah dan ber-qadhaya dengan sesama akhwat. ‘Dia’ lebih menyamankan, begitulah kira-kira. Ketika intensitas kehadiran seseorang di halaqoh itu berkurang, maka memang harus langsung ditindaklanjuti dan patut untuk diberikan perhatian lebih khusus. Kasarnya, patut dicurigai. Sang Akhwat memang tetap semangat untuk bangun di malam hari karena ada dia yang membangunkan. Rapat pun sama. Tapi niatnya sudah bertukar.
Maka dari itu, bagi yang masih sulit mengelola hati maka jagalah pandangan. Sampai sekarang sang akhwat tetap seperti itu. Entah sudah berapa ikhwah yang jadi korbannya. Terakhir, anggota syura malah, sangat memprihatinkan. Perempuan adalah tantangan terbesar bagi laki-laki. Menurut saya, semuanya memang tergantung pada perempuan, jika akhwat bisa menjaga dan tidak menanggapi sama sekali jika ada ikhwah yang sudah agak ‘berlaku aneh’. Sering tanya ini itu yang rasanya tidak penting. Maka sebagai seorang akhwat harus cut langsung. Jangan sampai menjadi penghalang bagi pejuang-pejuang-NYA. Khawatiri jika diri menjadi penggoda bagi orang lain, ketika diri menjadi sumber dari keruntuhan orang lain. Kabarnya, jika seorang ikhwan bermasalah dengan VMJ ini maka secara otomatis akan diturunkan. Padahal semestinya sudah sampai pada tahap murabbi tapi jatuh hanya gara-gara perempuan. Godaan paling besar bagi ikhwan itu adalah akhawat. Nafsu laki-laki itu satu, sedangkan nafsu perempuan sepuluh.
Lebih baik mencegah dari pada mengobati. bukan sang ikhwan saja yang akan merasakan rugi dan penyesalan, tapi juga akhwatnya. Hanya ada dua pilihan sebenarnya, menikah atau putuskan. Kuncinya jangan pernah berikan celah secercah pun untuk setan merusak niat, hati dan amal dengan VMJ. Ketika kalah oleh VMJ maka memang baru sebegitulah ternyata tingkat dan kualitas keimanannya. Putus oleh VMJ saja, padahal di luar sana banyak lagi yang akan dilakukan membangun peradaban Islam. “Antum akan senantiasa diuji Allah pada titik terlemah Antum,“ Ustadz Rahmat Abdullah, Murabbi pertama di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar