Jumat, 04 Maret 2011

Pesan Klasik untukmu...

Kau datang dengan wajah yang gundah hari itu, masih terhitung pagi walaupun siang sebentar lagi menjelang. Kini, aku mencoba mengais-ngais kembali kata yang terlontar darimu.
“Aku tahu kalau itu yang benar...” isakmu mengalir. Aku diam. ingin sebenarnya menghambur memelukmu, kemudian memegang wajahmu dan mengangguk yakin. “Kau bisa!”
Tapi aku hanya diam, belum bisa mengucapkan satu patah kata pun. Lirih hatiku berkata, “Alhamdulillah ya Allah...”
Jilbab hitam tipis yang kau kenakan sudah penuh dengan ingus dan air mata. Dengan semangat kuambil manset, kaos kaki, juga jilbab tebal dari lemariku. Kusodorkan padamu. Dan perlahan kau memakainya.
Hm... Kau begitu cantik dengan pakaian takwa itu Un.......

***

Begitu banyak waktu yang sudah kita lewati bersama, aku tahu akan rapuhmu dan kau pun mungkin juga lebih banyak tahu bagaimana aku. 3 tahun lebih kita berkutat di dalam aktifitas kewartawanan kampus. ah, ecek-ecek. bukan aktifitas yang apa-apa sebenarnya. Cuma sarana belajar dan juga sarana untuk membuncahkan rasa-rasa tentang banyaknya ketimpangan yang terjadi di ruang kampus kita ini, di ruang padang ini, Sumatera Barat, atau nasional. Masa yang luar biasa, lagi-lagi idealis yang sering dengan senyum bangga dan yakin kita menyebutnya.
Tapi waktu terus bergulir. Tak bisa ditahan jarum jam itu untuk tak bergerak. Tiba saatnya kita menjalankan peran sebenarnya dalam liku hidup kita masing-masing. Selamat tinggal kampus.
***
Nun jauh di sana suaramu serak. Tenggorokanmu sedang bermasalah, akumu. hmm... betapa sebenarnya aku ingin melihat langsung bagaimana keadaanmu kini. Yang dari cerita-cerita sedikit di pesan singkatmu, menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Jakarta. Tempat kau lulus tes PNS beberapa waktu lalu.
“Aku baru... aku masih rapuh,” keluhmu.
hmmm...
“Aku sanksi apa bisa bertahan.” Jakarta sangat beda dengan Padang. Tentu.

***

Kemudian kau jalani hari dengan penuh kegalauan. Keterasingan. Dianggap aneh di kantor karena menolak bersalaman dengan laki-laki. Tambah lagi ketika melihat fenomena orang-orang berjilbab lebar tapi santai saja berjalan berdua-dua dengan laki-laki. Atau mojok di waktu-waktu istirahat kantor. Atau juga mereka yang dengan tanpa canggung dan tanpa raut bersalah ketika bersalaman dengan laki-laki yang kau tahu bukan muhrimnya. Ah, kenapa ini terasa begitu berat dan semakin berat ya Allah?? begitulah kira-kira keluhmu...
sempat kemudian kau ungkapkan kata-kata dalam benakmu. “Apa dipendekkan saja sedikit jilbab ini ya... biar tak begitu kentara. Atau nampak berbeda dengan orang-orang lain.”
Isakmu. Ketakutannmu. salah satu modal sebenarnya untuk menguatkan diri. betul, amat betul katamu bahwa berkata itu memang mudah tapi praktiknya begitu sulit. Andai aku berada di posisimu aku juga tak tahu?
Sungguh... aku tak bisa banyak berbuat. karena rasanya memang kata-kata atau sms yang aku lontarkan merupakan kata-kata klise.
Gigihlah menghubungi ‘uni’ barumu di sana. Kamu harus bertahan. Bertahan. Sabar. Dekatlah pada-NYA. Memohon perlindunganlah pada-NYA. Dekatlah dengan al Quran. Sungguh... orang yang kucintai karena ALLAH... kupikir memang itulah obatnya. Segala rasa itu datang dari Allah. Kekuatan dan keteguhan hati untuk istiqomah di jalan-NYA juga dari-NYA. Kau mesti percaya, YAKIN dengan kekuatan doa.

Pagi yang jernih, 5 Maret 2011

2 komentar:

  1. syukran kak, sungguh Allah sangat baik mempertemukan aku denganmu kak....
    kumohon, kuatkan aku....

    BalasHapus
  2. insyaallah SELALU dek.. Bukankah kita sudah berjanji untuk menjadi di antara orang2 yang 'bertahan' itu? di 'sana', menatap kagum sosok 'nya'

    BalasHapus