Sabtu, 16 Oktober 2010

Prof....

Ketika itu Diah sangat terkejut, ternyata tugas akhir semester yang diberikan sang Profesor semestinya sudah dikumpul dua hari yang lalu. Terbayang-bayang olehnya sosok Profesor itu, dia begitu tegas mesti usianya telah renta. Kulitnya telah begitu keriput. Jalannya yang terseok-seok dengan tongkat hitam yang bisa otomatis diukur panjang pendeknya.

Sejak tahun 1990 beliau telah mengalami struk. Namun sampai 20 tahun kemudian beliau tetap menjadi dosen yang disiplin, tak pernah sekalipun telat datang ke lokal kuliah, dan tak pernah memberikan ampunan kepada mereka yang terlambat mengumpulkan tugas, apa pun alasannya. Diah bergidik. Kecemasan menjalar dalam dadanya. Namun, meski begitu dia tetap harus melakukan sesuatu. Jika tak bertindak maka rela-rela saja dengan E.

Harap-harap cemas Diah memberanikan diri menemui sang profesor di ruang kerjanya. Dan terang saja, profesor itu hanya membeku mendengar penjelasannya yang cuma dua kalimat.

“Maaf, Pak. Saya sama sekali tak tahu kalau proposalnya dikumpul dua hari yang lalu, Pak.”
Sang profesor melepas kacamatanya setelah beberapa saat. Harapan yang sudah lumayan tenggelam melihat aksi diam profesor beberapa detik lalu sedikit timbul kembali.

Diamatinya wajah Diah penuh selidik. “Diah Andriadi!”

“Ya, Pak,” sahut Diah, dengan wajah memelas yang berusaha disembunyikan, dia tahu kalau sang profesor sangat anti wajah memelas, suaranya ditegar-tegarkan.

Diam lagi.

“Kumpulkan besok di sini,” lirihnya sambil menepuk tak bersuara tumpukan tugas mahasiswa di mejanya.

“Apa, Pak,” sahut Diah tak percaya.

“Perlu saya ulangi?! Ujar profesor sambil melotot di balik kacamata tebalnya.

“Tidak, Pak!” tegas Diah kemudian. Bisa berubah nanti kata-katanya kalau minta diulangi.
Keluarnya dari ruangan profesor itu disambut dengan tatapan tanya dari tiga temannya.

“Gimana?” Rosi membuka suara.

“Alhamdulillah, besok,” tutur Diah dengan senyum mengembang.

“Kok bisa???” tanya temannya.

“Lalu kami bagaimana?”

“Temui saja dulu bapaknya,” saran Diah.

“Wah, tidak berani.”

Ya, seperti itu. Terkadang kita takut mencoba. Apalagi kalau akan berurusan dengan hal yang tidak mengenakkan. Mainset yang tercipta penuh dengan kenegatifan padahal itu sama sekali belum tentu terjadi. Sebenarnya menghadapi dosen sekiller apa pun itu tak susah-susah. Hanya butuh mental dan kejujuran. Kejujuran menjadi nilai yang cukup tinggi sebenarnya, karena sebenarnya mereka biasanya memiliki analisa yang jitu akan kejujuran mahasiswanya (tahu kelayakan sebuah alasan, bisa/tidaknya diterima). Jangan lupa, kalau mereka pernah jadi mahasiswa juga dulu…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar