Kamis, 29 Juli 2010

Setelah membaca Pak Comblang Kang Ian dan SSD-nya Puch



Jadi sedikit teringat kejadian beberapa waktu lalu……. Beginilah kurang lebih reka ulangnya…

Nelangsa, begitulah kira-kira dia ketika mendengar berita yang sungguh tiba-tiba malam itu. Runtuh sudah sebuncah harapannya untuk berdampingan dengan seseorang yang minimal sudah mengerti bagaimana jalan hidup yang dia pilih. Dalam sebuah jamaah dakwah, menciptakan generasi Rabbani.

Bukan karena laki-laki itu tak tampan, tak kaya apalagi, memang sungguh bukan itu yang menjadi kriteria teratas yang sudah dipetakan dalam proposal hidupnya. Dia hanya menginginkan sesosok laki-laki tarbiyah dan mengerti ketika berbicara tentang perjuangan… dakwah… karena seperti bagaimana buku-buku yang dia baca… dia benar-benar ingin menjadi pendamping yang sangat ingin menguatkan kaki sosok itu di jalan dakwah. Menauladani bagaimana Khadijah atas Rasulullah…

Merajut cita-cita bersama dalam membangun peradaban islam di muka bumi ini.

Sungguh bukan karena dia tidak mengenyam pendidikan di kampus yang menjadi kendala di hatinya, bukan pula karena pekerjaannya yang hanya seorang petani. Ah, kenapa semua menjadi sebegitu rumit seperti ini? Dalam.. dia memijit kepalanya yang tak terasa sakit. Sengaja kakinya dipasungkan di tepi sungai ini, ia memilih untuk tak segera pulang sehabis mengajar hari ini, hanya ingin sendiri untuk beberapa saat.

Entah mengapa.. terlintas dibenaknya kalau kecimpungnya di dunia ‘ini’ akan segera berakhir. Segera, setelah laki-laki itu resmi menjadi walinya, dan itu taklah berapa lama lagi.

Tipenya yang pendiam ternyata memang menjadi bumerang. Teringat kembali ketika semester delapan kemarin sang ayah berkata, “Bagaimana Ra, sudah punya calon?”

“Calon apa, Yah…” ujarnya tersipu, kembali ditekurinya jahitan yang menuntut untuk segera diselesaikan. Pagi besok, ibu sudah akan memakainya, ke pesta pernikahan anak tetangga. Seusianya.

“Ayah maunya selesai wisuda nanti kamu langsung menikah saja, ndak baik berlama-lama. Sekarang kalau kau sudah punya pacar, calon maksud ayah. Baik kalau kau kenalkan kepada ayah,” ayah bertutur datar penuh wibawa.

“Hm..,” nafasnya menghela berat. “Saya tidak punya pacar, Yah,” katanya kemudian lantas mengalihkan pembicaraan.

Tak pernah dia menduga ternyata jawaban itulah yang menjadi sumber sang ayah memutuskan untuk menjodohkannya dengan salah satu kerabat dekat. Pulang ka bako. Sang ayah sangat tahu sekali bagaimana sang anak berinteraksi dengan laki-laki. Terakhir masa SMA dia melihat adanya interaksi sang anak dengan teman laki-laki. Empat tahun kuliah, tak pernah terdengar sedikit pun di telinga sang ayah kalau dia berpacaran dengan seseorang. Padahal di jaman sekarang sungguh sangat jarang mereka yang tidak memiliki pacar. Seperti gadis-gadis lain di desa itu. Sang ayah menyimpulkan sendiri, kalau sang anak tak sanggup mencari sendiri. Harus dicarikan!

Perjodohan itu tak pernah dia tolak, hanya kepada beberapa orang saja dia menceritakan kisah sepotong hatinya. Tak ada kemungkinan secercah jarum pun untuk menolak. Dia lebih memilih berdamai. Hanya ayat ini yang menjadi penguatnya "....dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)....)

2 komentar:

  1. haduh2....saya tidak ingin mengalami nasib yang sama mbak,, [mikir2 proposal] :)

    hehe, peace!

    BalasHapus
  2. doakan bisa menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah ya puch...

    BalasHapus