“Nikmati saja, Dinda. Sedang masanya,” ujar salah seorang
kakak beberapa waktu lalu melihat kondisi saya. Ini memang yang pertama, bukan
berarti saya harus dikatakan wajar kurang berhasil. Itu pikiran saya namun
sungguh begitu sulit. Ah, praktik memang selalu jauh lebih sulit dari teori.
Jadi sering ingat dulu itu, saya praktik dulu baru kemudian
didebatkan di ruang kelas jurnalistik. Jadi saya buat teori itu sesuai dengan
perjalanan praktik yang saya lakukan di salah satu organisasi Surat Kabar
Kampus. Ganto, ya… Ganto nama surat kabar kami itu. Diskusi yang hangat. Sampai
ujung, dosen muda itu terdiam dan teman-teman makin berapi berdiskusi. Ah,
sayang meski vokal di diskusi dan tulisan berita selalu dinilai A. Yang muncul
di LHS tetap B. “Kok B, Pak?” ujar saya
ketika itu. Dosen itu hanya tersenyum sambil berlalu. “Cukuplah untuk
anak kecil sok tau seperti kamu,” mungkin itu pesan dari senyum yang berlalu
itu (Huz… Su’udzan).
Hehe.. tapi tetap saja, saya lebih suka membawa praktik sebenarnya
yang kemudian dibandingkan dengan idealnya. Sampai di Mata kuliah yang sangat
kucintai juga aku malah dapat nilai C, bedanya.. kali ini sang Dosen bersedia
diprotes dan menggantinya dengan nilai A setelah aku berbicara panjang
dengannya dan meninggalkannya dengan mata berkaca. Haduh... jadi kemana ini
ceritanya.
Pokoknya jelas, saya kurang suka teori dan banyak bicara.
Kalau ada yang mau berdebat dengan saya soal ini, Sorry saya tak mau. Debat tak
boleh dalam Islam ^.^ dan saya adalah milik saya. Pendapat saya sewaktu-waktu
bisa berubah tapi sampai hampir 24 tahun di dunia saya tak berubah. Teori
gampang, yang susah praktik.
Catatan maksa, Selepas
Pak Bozz Pergi terbirit-birit ke ruang Layout Singgalang
Kamis, 24 Mei 2012
Pukul 16:35 WIB