Senin, 14 Februari 2011

Ah... Sudah malam lagi. Dan besok juga pagi lagi. Tanggal bak berkejar-kejaran. Seperti begitu bernafsu melihat budak-budaknya terengah dan mengalah. Sudah besokmu masih banyak. Duduklah barang sejenak, mengikuti awan-awan yang pelan-pelan berubah bentuk... angin yang terus berganti menyepoi..
Hm...
Rahib dan penunggang kuda..

Sabtu, 12 Februari 2011

Aku menyuapkan nasi dengan tercekat. Isak tertahan membuatnya begitu susah untuk ditelan. Aku menunduk dalam, menyembunyikan mata yang mulai tergenang. Nafas tertahan. Cepat kuusap kuat air mata yang mulai menetes.
“Perempuan, lakunya aneh-aneh saja. Malam-malam,” katanya sama sekali tak peduli dengan perasaaanku.
itu saja ucapnya, setelah melontar kata tidak yang cukup penuh tekanan. Pertanda tak ada lagi toleransi. Sementara ibu hanya diam.
Usai adegan makan menyeramkan itu, aku bergegas ke kamar. Mengambil ransel gembung yang sudah sejak kemarin aku siapkan. Berisi pemberat kaki, pakaian ganti, buku ke-SH-an, dan baju seragam. Sabukku masih hitam dan akan segera berganti warna. Akan!!
Ayah di kamar. Secepat kilat aku menyelinap. Ada ibu ternyata di dapur, menatapku. Kuraih tangannya dan kucium. “Aku pergi, Bu.” Ibu menghela nafas. Tak ada kata setuju darinya, tapi kuyakin dia percaya padaku. Pagar bilah belakang rumah baru saja kulompati. “Maafkan aku ayah,” lirihku yang masih mencoba menahan tangis.
***
Sekelumit adegan itu begitu segar diingatan. Gara-gara kemarin aku merasakan hal yang sama tidak enaknya dengan rasaku dulu itu. Aku sudah memandangi daftar tempat-tempat impianku, sebentar lagi aku akan melingkari satu poin lagi. Mentawai. Ada daya tarik yang luar biasa dari pulau itu. Apalagi ketika teringat kembali kata-kata bang Effendi. “Antum mesti lihat sendiri! biar antum ngerasa. Biar antum dapet ruhnya! masa’ satu hari saja tidak bisa.”
Malu aku dengan anggukan kuatku ketika itu.
“Orang mati-matian usaha acc kompre, dia sudah di acc lah malah mau ke Mentawai, ada-ada saja,” omel ibu ketika aku menginformasikan. Padahal strategi sudah diatur sedemikian rupa. Tidak kalimat minta izin yang aku lontarkan. Tapi pernyataan
“Ibu, selasa Jilan ke Mentawai. Kamis sudah tiba lagi di Padang. Untuk daftar kompre sudah minta tolong uruskan ke Rika, Siip bu!” senyumku mengembang.
“Indak,” katanya menggeleng mantap. Aku meringis.
“Keceknyo Pariaman Mentawai tu.. Bilo se nio pulang bisa.”
Allah...
“Pokoknya ndak ada ke Mentawai Mentawai!”
Aku menatap seorang kakak, minta pembelaan. Boro-boro. dia menambahkan “Dalam keadaan seperti ini, tak akan ada yang membolehkanmu pergi ke sana.”
Menyesal tadi pagi aku menunjukkan surat persetujuan ujian skripsi itu ke ibu. Ibu kos-ku.
Untuk tidak memberitahu keluarga di rumah aku masih sanggup. Tapi bagaimana aku akan berkilah dari keluarga yang di sini. Tak mungkin aku menghilang tanpa jejak. Bohong? oh... tidak-tidak. Itu lebih tak berani aku.
Aku masih berargumen, mengelak-ngelak. Mencoba meyakinkan kalau tidak akan terjadi apa-apa dengan kompre itu. lelah...
tetap jawabannya, “Indak ado doh...”
“Ibu...” kali ini tidak pakai argumen lagi. Tapi wajah yang luar biasa memelasnya.
“Ka mangambok, ngamboklah. Pokoknyo ibu ndak izin...”
hff...
“Yang baik bagimu belum tentu baik bagi Allah...” kata suara itu kemudian.
“Al baqarah: 216,” lirihku.
“Status perang prioritasmu sekarang skripsi itu.”
hmmmm....

Gempa 3 Desember 2010

“Terinjak-injak sama orang Kak,” ujarnya tertahan, Jumat (3/12). “Mungkin empat atau lima orang” lanjutnya.

Menunduk aku melihat kakinya. Biru. Kupegang sedikit, dia mulia meringis dan perlahan air matanya mengucur. Tersedu. Berbekal ajaran amatir pelatihku 5 tahun yang lalu aku mencoba memeriksa kondisi kaki Adik paling bungsu kami itu.

“Sakit Kak...”

“Tahan..” ujarku.

Cidera-cidera yang terjadi karena kecerobohan, kepanikan yang tak tentu arah. Kondisi lokal kampus yang umumnya memiliki satu pintu atau dua pintu sempit sangat rawan untuk kondisi-kondisi seperti ini. Umumnya mahasiswa panik berlarian ke luar lokal. Tak peduli akan menabrak orang, menginjak orang, yang penting duluan keluar. Selamat diri sendiri dulu lah.. begitu konsepnya. Sementara di radio terdengar beberapa berita yang mengatakan kalau terjadi kecelakaan di sejumlah daerah. Maksud hati melarikan diri ke tempat aman sesegera mungkin, alhasil naas didapat. Motor-motor menggila, ngebut. Kendaraan roda empat? Sama saja kasusnya.

Ketakutan yang taklah dibekali ilmu. Manusiawi memang, ketika rasa takut itu datang. Namun mestilah ada manajemen diri yang baik dalam menyikapi setiap kondisi ataupun masalah. Ketenangan merupakah hal pertama yang dibutuhkan. Dengan tenang, maka otak dapat berpikir tentang solusi.

***

Sebenarnya sudah cukup dewasa dengan kewas-wasan, kekhawatiran. Empat tahun beranjak lima bermukim di Padang membuat gempa menjadi sesuatu yang tak asing lagi. Aku baru saja menapakkan kaki di lantai tiga rumah ketika guncangan 4,2 SR itu tiba. Penghuni rumah segera berlarian ke lantai paling atas.

Aku segera bergerak ke balkon paling ujung menuju arah kampus. Di gedung baru Fakultas Ekonomi sudah begitu ramai. Kabar terakhir, gedung ini memang didesain khusus untuk tempat penyelamatan ketika tsunami datang. Sementara di gedung pasca sarjana, dua orang sudah kulihat berdiri di atapnya. Di jalan-jalan, raungan kendaraan bermotor terdengar bising. Langkah-langkah bergegas sosok-sosok mahasiswa membawa tas ransel dalam ukuran yang lumayan besar, ramai terlihat.

Ingat aku dulu bagaimana pengalaman pertama merasakan gempa di Padang. Aku masih tahun satu. Sedang kuliah Mata Kuliah Umum (MKU), Bahasa Iggris dengan dosen berinisial RN. Semua panik, ada yang pingsan ada yang terinjak-injak, menangis. Aku hanya termenung, mencoba tenang dan akhirnya dosen itu berteriak padaku... cepat keluar!!! Ketika sekilas menoleh ke belakang dindingnya sudah terasa akan runtuh... Trauma yang luar biasa sebenarnya dan coba disimpan serapat mungkin. Karena benar-benar tak mungkin menjadi orang yang ikut-ikutan panik di tengah orang-orang panik.

Hari ini harus mengurus surat penelitian. Aku kembali ke kampus dan... Jurusan ternyata tutup. Kampus lengang. Berbalik menuju perpustakaan, nasibnya sama. Yang kuliah libur tanpa rencana. Mahasiswa kocar-kacir dosen entah kemana. Bagaimana pula nasib mereka yang butuh berurusan dengan birokrasi sesegera mungkin ini? Semua jadi mandeg. Akibat manajemen yang tidak efektif, “masih digodok,” kata mereka di atas sana. Sampai kini baru dua fakultas yang sudah melakukan sosialisasi dan simulasi gempa. Sambutan mahasiswa pun membuat miris. Ingin tetap menikmati ketakutan-ketakutan itu.....

Thursina: Ibnu Sina

Sehabis mendapatkan pembimbing di sore yang aneh.. Suasananya sungguh berbeda tapi bukan karena berita-berita yang belakangan muncul kalau akan ada gempa yang sangat besar menimpa kota padang. Dengan prediksi waktunya sekalian. Benar-benar…

Anehnya karena cercaan Mr. WC sama sekali tak membuatku kesakitan, senyumku terus mengembang pasca keluar dari RBC2. Mata yang memang sudah sangat berat entah kemana, energi hasil makan tadi siang juga sudah sirna…. Baru beberapa hari ini berbuat sedikit ekstra. Atau… mungkin mulai tak sadar kalau berguyur zalim lagi…

“Pergi yok…” ujarku pada Shaffi yang berbaik hati menemani sejak dzuhur tadi.

“Kemana?”

“Tempat yang menenangkan, jangan ribut..”

“Kemana?” ulangnya.

Aku mengangkat bahu, menaikkan alis, “Terserah kamu.”

***

“Ada yang mau dijenguk di rumah sakit?” kata shaffi di tengah perjalanan.

“Iya..iya, ke rumah sakit saja. Ibnu Sina, ya…”

“Mengenang Januari…” ujarnya.

Aku tersenyum. “Hm.. ya, sekarang sudah tak terkendali lagi.”

***

Kami memasuki pelataran rumah sakit yang tak cukup luas itu, Mushala dengan warna tersendiri –beda dari warna gedung-gedung lainnya--, hijau muda yang terang.

“Ke UGD,” kataku.

Kami segera menuju sisi kiri. Pintu UGD terbuka sedikit. Kami sempat mendengar erang tubuh tua di dalam sana. Bapak-bapak. Di pergelangan tangan kanannya sudah mencocok jarum infuse. Bibirnya kering, pucat. Lirih.. rintih satu-satu keluar. Karena suasana di dalam sangat sibuk. Kami memilih untuk langsung ke lantai 2 rawat inap Marwa.

“Sebenarnya bagus ke M. Jamil, lebih berasa… kan poinnya muhasabah…” tutur Shaffi.

Thursina 1

Kubaca plang nama yang menjadi tempatku menjelang pertengahan Januari lalu…

Ampuni hamba ya ALLAH… Aku akan baik-baik lagi menjaganya … sehat ini.

Senin, 07 Februari 2011

Bila waktunya tlah tiba

Meruas satu-satu rahasia yang tlah tercipta sejakku belum ada

Menapak di dasar bongkahan-bongkahan bumi

Menghirup seluas-luasnya udara yang tlah ada sejakku tak ada

Kadang kuingin dia tetap rapat untuk menjadi rahasia

Walau emosi tuk membuka juga tak kalah hebatnya

Aku meremang.. kenapa aku sepengecut ini?

Sementara pincangku mulai merambat

Dan dengan bodoh aku kembali bertanya

Apalagi ini?

Yang begitu membuatku takut

Akan bius rasa yang aku sama sekali tak tahu batasannya

Terasa sangat tak paham

Walau sebenarnya aku paham..

Sejauh mana aku tlah berjalan?

Bukankah ini bukan kelok pertama?

Atau di sinilah mungkin tempatku mereguk sedikit dahaga untuk bersiap menemui rahasia-rahasia lainnya?

Atau bolehkah aku menghempaskan semua sesak-sesak rahasia yang satu per satu datang kepermukaan

Rahasia yang sangat ingin tapi juga tak ingin kutahu

Mungkinkah…

Terlampau dini untukku..

Tapi bagaimana jika benar waktu itu tlah tiba??