Rabu, 24 November 2010

Maaf! Hanya untuk Dibaca Hawa

Yang Butuh Sentuhan....

24 Nov. 10

Entah apa yang membuatnya akhirnya memasungkan kaki di depan pagar rumah bercat krem yang sudah banyak mengelupas itu. Cinta mungkin. Ya. Cinta. Meluruhkan rasa-rasa enggan dan kata menyerahnya di pagi tadi.

Mantap langkahnya mengurai semua godaan yang sudah sejak lama mengatakan ‘sudahlah’. Digesernya pagar yang sudah berkarat, bunyi derit peraduan besi tercipta. Menyambut langkah mantapnya. Agak linglung. Mana kamar sang teman yang dicarinya.

Ada cahaya di ruangan pojok kiri sana. Suara-suara di dalam juga terdengar jelas. Sementara pintu yang selurusan dengan gerbang rumah terbuka begitu saja. tak ada orang. Masih gelap. Waktu memang baru saja lepas magrib.

Diputuskannya untuk menuju ruangan terang tadi. Salam diucapkan. Dia agak terkesiap, ada beberapa perempuan muda di dalam. Sebegitu rupanya dia menyiasati pandangan yang sudah terlanjur itu. Teringat dia kata sang teman. “Nanti kamu terkejut kalau ke kosku.”

Sudah maklum sebenarnya dia juga pernah mengalami hal yang sama ketika kerja kelompok di kos salah seorang teman sekelasnya ketika tanpa ba bi bu orang di sana ganti baju seenaknya saja. tak ada aba-aba. Tak ada malu.

Tapi sungguh, kali ini dia tak ada persiapan sama sekali. Sekilas tadi dia melihat seseorang dengan hp tertempel di telinga mengenakan celana yang jauh di atas lutut, sementara yang satu lagi baru selesai mandi.. 2 lagi entah...

Tanya akhirnya terlontar sesantun mungkin. “Maaf, ada Lingga?”

“Oh.. salah, dia tidak di sini.”

“Maaf.. ya... saya bertanya. Soalnya memang tak tahu yang mana kamarnya.”

Mereka kemudian menunjukkan untuk dia segera ke ruang sebelah. Dia masuk juga ke ruangan yang lampunya belum menyala tadi. Terus ke belakang, mencari tempat bertanya baru. Ternyata los langsung dapur. Keluar seseorang dari kamar mandi. istighfar menyusul kemudian. Teringat ia Kata teman-temannya kalau melihat aurat yang seharusnya tidak tampak sesama perempuan. “Waduh... kamu seksi sekali. Hilang hafalan saya!”

Maka kalau diingat kondisi sekarang, maka entah apa yang akan mengalir dari mulut teman-temannya itu. Beruntung segera ada seseorang dengan setelan rok hitam panjang dan baju hitam bunga-bunga. Ramah. Sedikit menyejukkan hatinya yang memang sedang gundah.

Dia diajak jalan memutar, setelah beberapa tangga yang berliku tampaklah sebuah kamar di pojok lantai 2. Dari kaca nako luar dia bisa melihat, sang teman sedang shalat. Sementara 3 temannya lagi sedang bercengkrama di atas kasur. Bercanda. Sesekali saling memukul dengan derai tawa.

Diam sejenak kemudian, ketika dia muncul di depan pintu yang memang terbuka. “Masuk,” kata yang dari dalam datar.

Dia masuk dengan masih mencoba menata hati. Penglihatan yang benar-benar membuat dirinya sedikit terganggu.

Sementara sang teman masih bersidekap di dalam mukena putihnya. Sudah cukup telat sebenarnya untuk shalat magrib.

Hm.. sudah 2 bulan berjalan sang teman memutuskan untuk kos. Setelah beberapa tragedi melandanya. Ketika kemudian sang teman merasakan sepi yang mencekam dan benci yang luar biasa dengan kata dakwah. Akhwat.

Lagi-lagi cintalah... yang membuat ‘dia’ ini di sini, saat ini.

Setelah sang teman menuntaskan shalatnya, sang teman berbalik dengan mata berkaca dan kata “Maaf.......”

“Tak apa..” disusul dengan pelukan hangat.

“Kenapa sampai datang ke sini? Kenapa begitu peduli? Kenapa?” mulai mengisak.

Dihapusnya air mata sang teman. “Karena Allah...”

Bising tadi sudah lama hilang. Dia tersenyum dan akhirnya mencoba menyairkan suasana dengan segera mengulurkan tangan kepada teman-teman Lingga. Bercerita sedikit dan akhirnya masuklah ke babak-babak

“Mau ikut ngaji?”

“Ngapain tuh...” kata mereka antara antusias dan datar.

Kebekuan yang mencair. Bulir-bulir cinta kemudian lagi-lagi mengalir. Begitu kuat ingin member barang sedikit untuk memuaskan dahaga mereka. Hanya butuh yang menuntun. Mencukil potensi-potensi kebaikan dari diri mereka.

“Tapi kami tidak pakai jilbab.”

“Never mind. Kita sama-sama proses,” kata ‘dia’ dengan senyum optimis.

“OK,” kata mereka serentak.

Buah dari langkah berat tadi....

“karenaMU ya Allah,” lirihnya

Minggu, 07 November 2010

Irwan Prayitno bagi Mentawai

Kakak sekarang di Sikakap, bagi masyarakat Mentawai khususnya masyarakat Sikakap dan khususnya lagi bagi masyarakat yang menyaksikan sendiri bagaimana Irwan Prayitno turun ke lokasi menempuh badai di laut, di darat berjalan di tanah berlumpur tambah hujan lebat dan tanpa payung, serta tindakan-tindakan beliau sebagai gerak penyikapan bencana, selaku gubernur, Irwan Prayitno sudah sangat peduli dengan bencana dan mentawai. Dan sebelum beliau berangkat wagub sudah ditugaskan di sini, penanganan bencana tetap berjalan normal.. hanya polbus dan pengamat provokatif yang besar omonglah (maaf) yang terlalu membesar-besarkan kepergian Irwan Prayitno ke Jerman. Jadi kalau ada opini miring, bisa kamu counter dengan info ini.

Minggu, 7 Nov 2010

19:19:12

Setelah di siang ke berangkatan Irwan Prayitno (IP) aku mendapatkan sms dari mamakku. Berisi isi berita di siang itu yang mengecam keberangkatan IP ke Jerman. Aku sama sekali belum tahu, memang belum melangkahkan kaki keluar, seperti yang ku-smskan pada salah satu sahabat yang meminta bertemu di hari itu. “Hari ini saya hanya ingin memenuhi otak saya dengan skripsi”.

Sms mamak tak kubalas. Selesai Dzuhur kusempatkan ke internet, perlu mengirim email. Sekalian membuka berita-berita terkini tentang mentawai. Lalu kemudian menemukan hujanan berita miring tentang Gubernur itu. Tapi banyak juga media yang kupikir mencoba memberikan pemberitaan yang berimbang. Data sudah kupenuhi. Jadi, nanti kalau mamak biasanya menelpon di malam hari, aku sudah siap dengan argumen penyikapanku untuk pertanyaannya di siang tadi (hehe... materi yang berat sebenarnya bagi mamakku)

Sorenya aku mendapat sms dari nomor asing. Isinya, lihat Metro tv dan disebutkannya acaranya. Maklum, karena di rumah memang tidak ada tv, aku segera ke bawah, ke tempat ibu kedua (ibu kos-pen). Acara yang dimaksud ternyata sudah tak ada lagi. Pas akan ke atas lagi, Abak menelpon, kutanyakan kepadanya terkait acara yang dimaksud nomor asing tadi (karena aku sangat tahu kalau ‘tongkrongan’ abak di rumah itu memang Metro TV dan TV one)

Mengalirlah kemudian ceritanya, Gubernur pergi ke Jerman, masyarakat Minang saja banyak mengecam, ada yang mengatakan ini, itu, pecat saja dan segala macamnya. Biasanya kalau dengan abak, lumayan enak untuk bertukar pikiran. Beliau mendengarkan ceritaku tentang bagaimana gerak IP sejak malam gempa (25/10) itu. Bagaimana IP keliling kota Padang, pagi setelah tahu berita tsunami di Sikakap langsung mengadakan rapat, kemudian berangkat ke Mentawai... bla.. bla.. bla.. termasuk bagaimana ungkapan IP ketika presiden datang namun dia tidak menjemput langsung ke Bandara International Minangkabau (BIM). Yang kurang lebih redaksinya seperti ini, “Saya lebih baik bersama rakyat saya di sini.” Juga kujelaskan tentang materi keberangkatan ke Jerman itu dalam misi apa.

Beliau benar-benar mendengarkan, kemudian beliau berkata. “Ya, sudah alhamdulillah kalau memang berita sebenarnya seperti itu.” Namun sayang lanjutannya membuatku menepuk kening dan menggeleng. “IP itu dari PKS kan,” kemudian tertawa renyah. “Pantas saja kalau kamu bela.....”

Waaaa..... Abak... tidak bisakah beliau melihat aku sebagai orang sedikit belajar mata kuliah jurnalistik, orang yang sedikit kadang pusing-pusingkan birokrat kampus lewat tulisan. Orang yang punya sedikit ilmu di bidang pemberitaan itu?

Handphone beralih ke mamak. Mungkin abak sudah menerima signal kalau aku akan lebih menceracau lagi kalau beliau tahan juga hp itu di telinganya.

Apa daya ternyata opini yang terbentuk dalam diri mamak justru lebih kuat. “Jilan.... orang Minang saja banyak yang protes!”

Aku mengurut dada, “Mamak, Jilan yang ada di sini, jadi Jilan tahu bagaimana tanggapan masayarakat, tidak separah yang diberitakan di tv itu untuk sikap dari masyarakat sini.”

Namun mamak, benar-benar tak bisa dikendalikan ^^ aku menggeleng-geleng benar-benar top, berhasil sangat pembentukan opini publik yang dibuat media tv itu. Terbayang, beginilah opini sebagian masyarakat Indonesia (terkhususnya masyarakat awam) yang hanya menerima pemberitaan itu dari media tv. Aku sempat ingat dosa diri, ketika deadline mepet. Kukatakan pada reporter, “Kamu hanya perlu mendapatkan ungkapan ‘ini’ dari Pak ini.” Ungkapan yang akan mendukung pengarahan opini. Oh Allah... aku memandang ketika mamak mengatakan masyarakat Minang saja banyak yang mengecam tentu yang ditayangkan di tv itu yang mengecam saja.

Akhirnya kuceritakan pada mamak bagaimana prinsip cek and balance dalam pemberitaan, mulai aku berbicara juga tentang kode etik jurnalistik, aku tahu kalau itu tidak akan beliau mengerti. Tapi setidaknya aku sudah berbicara... sampai akhirnya hubungan telepon putus. Dan aku mendapatkan sms. “Baterainya habis, Jilan. Nantilah kita sambung lagi”

Huff... aku langsung sms abang. Sebagai orang yang benar-benar berada di Mentawai. Yang aku rasa berkompeten untuk berkomentar terkait ini. Karena dia tahu, dia merasakan hawa mentawai saat ini. Beliau aktivis, tinggal di kepulauan Sipora. Reputasi. Objektif di mataku. Sebelumnya abang menceritakan kalau masih kesulitan untuk distribusi bantuan dari Sipora ke Sikakap. Karena gelombang air laut yang tingginya mencapai 12 m. Walhasil memang bantuan didistribusikan lewat jalur udara.

Sms-ku malam itu berisi menanyakan kabar, keberadaan beliau dan sedikit bercerita tentang penggalangan dana di Padang.

Balasan

“Kakak di wil sipora, tidak ke Sikakap karena di sana sudah banyak bantuan, tapi mungkin hari senin ke Sikakap untuk validasi data. Terkait gubernur, kita di mentawai mungkin belum saatnya berpolemik/memperbesar-besarkan/berprasangka terhadap kepergian gubernur, mungkin gubernur pergi dalam rangka untuk rakyat juga dan kepemimpinan itu tidak mesti harus di tempat (asal tidak keseringan) aktifitas kita di Mentawai dalam membantu korban juga masih berjalan seperti biasa, barusan kita mendarat pulang dari pendistribusian bantuan. Yang dibutuhkan kini bukan polemik, tapi secara bersama-sama menggalang bantuan dan mendistribusikannya.

4 November 2010

21:19:04

Catatan: untuk keberangkatan IP ke Jerman, Silahkan berpikir tentang apa mudharatnya? (aku hanya menemukan perasaan/prasangka kalau IP itu ‘tidak berperasaan’ karena meninggalkan daerahnya yang terkena bencana. HANYA perasaan. Dan untuk masalah itu, sudah dapat digunakan dengan melihat fakta bagaimana kebersamaan IP dengan rakyat Sikakap pasca bencana. Lihat http://www.hariansinggalang.co.id/sgl.php?module=detailberita&id=1659

Mudharat yang lain yang dikhawatirkan adalah penanganan terhadap korban bencana di Sikakap akan bermasalah ketika IP pergi? Pada kenyataannya? TIDAK )

Bagaimana keadaan di Mentawai pasca kepergian IP? Aman terkendali, sebelumnya sudah ada wagub, Muslim kasim di sana.

Mari kita kemudian tarik manfaat dari keberangkatan IP ke Jerman? menggaet investasi ke Sumbar, khususnya di Mentawai. Pembenahan sangat bagi provinsi yang masih luluh lantak ini.

Kubalas sms abangku itu dengan “iya Kak, hf... jadi tidak habis pikir dengan media di Indonesia kini, khususnya tv. Kalau dilihat dari keberimbangan beritanyo, benar-benar tidak berimbang. Padahal mereka pembentuk opini publik, mencerdaskan masyarakat. Realis. Dalam kasus ini yang diumbar hanya perasaan.

Kemarin itu, mamak sampe keras nian mengkritisi/malah membenci Gubernur Sumbar. Begitulah Jilan pikir potret opini masyarakat umum/awam tentang ‘polemik’ ini. Kejadian yang dipolitisi.”